Friday, August 27, 2010

Edit Foto



Barusan gw coba edit foto-fotonya evan, seneng deh lihat nya.
Dengan ekspresi muka yang beda-beda.

Tuesday, August 24, 2010

Aku lagi seneng baca novel

RINDUPUCCINO
by Zara Zettira ZR. & Effendy Wongso

Bab I
Jangan Pasung Cintaku

Prolog

Mungkin orang akan berpikir bahwa aku, Syandarini Aprilia Joshepine Munaf, adalah gadis teraneh yang pernah ada. Bagaimana tidak, seorang gadis yang hanya menambatkan biduk cintanya hanya pada satu dermaga hati saja, meski banyak dermaga yang dihamparkan di hadapannya dengan pantai yang lebih indah sekalipun.
Sama ketika aku begitu mencintai secangkir Cappuccino dan menolak banyak kopi lain yang ditawarkan kepadaku - Espresso, Coffee Junket, Coffe Mocha, Iced Vanilla Latte Espresso, Coffee Frappuccino, Tiramisu Latte, Cafe Macchiato, Almond Cafe Au Lait, dan masih banyak jenis kopi lainnya.
Sesungguhnya, bukan karena aku tidak kepingin. Bukan. Tapi bagiku, minum kopi bukan semata untuk memenuhi selera lidah. Namun lebih pada citarasa yang telah melekat pada lidah.
Dan sejak mula, aku telah menentukan pilihanku pada Cappuccino. Aku jatuh cinta padanya. Dan aku tidak mungkin berpaling pada kopi-kopi lainnya.

Rindupuccino
- sebuah falsafah tentang cinta sejati

***

Syanda tercenung sesaat di muka kulkas memilih minuman yang hendak disajikannya untuk Aditya. Kalau untuk dia sendiri sih, gampang. Cappuccino.
"Belum pulang juga anak itu?!" tegur Mama.
Syanda hanya menggeleng. Dia tahu, di rumah ini tidak seorang pun menyukai Aditya. Dan yang paling sering menunjukkan rasa tidak senang itu adalah Mama.
"Sudah jam berapa ini...."
"Ini kan malam Minggu, Ma," kilah Syanda sambil mencomot sebotol Coca-Cola jumbo dari kulkas.
"Malam Minggu sih, malam Minggu. Zaman Mama masih muda dulu juga ada malam Minggu. Tapi tidak sampai selarut seperti ini hura-hura sama pacarnya."
"Zaman Mama kan, dua puluh tahun yang lalu. Kuno. Ya lain, dong," ujar Syanda berkelakar.
Mama mencibir. "Botol yang keberapa itu?" tanyanya nyinyir, melirik dengan rupa tidak senang.
"Kenapa sih, Ma? Minuman di kulkas itu kan, memang disediakan untuk tamu!"
"Anak itu suka minum, ya?"
Syanda membanting tubuhnya dengan kesal di atas sofa.
"Kata teman-teman arisan Mama, temanmu Si Aditya itu tukang minum. Tukang begadang. Tukang kebut-kebutan."
"Tukang minum apa dulu. Ya, kalau minumnya softdrink sampai segentong juga kan tidak apa-apa, Ma. Namanya juga anak muda, begadang dan kebut-kebutan itu biasa. Kalau tidak dilakukan selagi muda, kapan lagi dong, Ma? Apa mesti kalau sudah jadi kakek-kakek?" bela Syanda seraya beranjak berdiri. Dia baru ingat kalau Aditya masih menunggu di luar.
"Huh, kamu ini! Dibelaaa terus Si Aditya. Pemuda itu tidak punya masa depan. Mana boleh kamu menggantungkan diri pada orang yang tidak punya masa depan? Mau makan apa kamu nanti? Mau makan batu, apa?!" tukas Mama sengit.
Syanda hanya menghela napas lantas berlalu meninggalkan Mama. Mama memang cerewet. Syanda sadar, siapa pun akan menilai Aditya sebagai anak berandalan. Sebab cowok itu kelewat apatis. Cuek-bebek. Tukang balap. Doyan begadang. Tapi bagi Syanda, hal itu bukan merupakan citra buruk selama semua itu dilakukan sebagai trend anak muda belaka. Toh, selama ini dia tidak pernah melakukan hal-hal yang negatif. Malah, perhatian dan kasih sayangnya tidak pernah berkurang secuil pun kepadanya.
Ya, mungkin Mama benar. Aditya tidak punya masa depan yang menjanjikan. Tapi, apa peduliku? pikir Syanda. Hari ini memang mereka pacaran. Tapi esok? Hari esok pasti menjanjikan cerita yang berbeda dengan hari ini. Dan Syanda merasa hari-hari yang akan dilaluinya masih panjang.
"Lama banget. Kukira kamu ngambil Coca-Cola-nya sampai ke pabriknya," goda Aditya, menyambut gadisnya yang keluar dengan sebotol minuman ringan.
Syanda tersenyum.
"Nih, minum sampai mabuk!" Diserahkannya botol Coca-Cola itu ke tangan Aditya.
"Mamamu marah lagi, ya?" tanya Aditya.
"Kok tahu? Nguping, ya?"
"Tidak usah nguping juga kedengaran dari sini, Syan. Suara Mamamu itu bisa sampai ke bulan kalau lagi ngedumel."
Syanda terkikik. Dicubitnya lengan Aditya dengan gemas. Selalu saja ada bahan untuk memancing tawanya.
"Jangan terpengaruh Mamamu ya, Syan? Aku cinta banget sama kamu!" ujar Aditya, mendadak jadi serius.
Syanda tercenung. Ditatapnya mata lugu di hadapannya dengan hati berdentam. Cinta? Cintakah aku kepada Aditya? Terlalu pagi rasanya mengucapkan kata-kata itu. Sampai detik ini, yang dia tahu, dia hanya merasa senang berada di dekat Aditya. Itu saja.
"Aku juga sayang kamu, Dit!" ujar Syanda akhirnya setelah berhasil meredakan gemuruh di hatinya.
Aditya menggenggam tangannya.
"Walaupun aku tidak naik sedan seperti Edo?" tukasnya.
"Hei, hei! Memangnya aku cewek matre apa?" Syanda melototkan matanya. "Aku tuh, suka dibonceng sama motor trailmu itu asal kamu tidak ngebut saja."
"Tapi, aku juga tidak punya banyak duit buat neraktir kamu."
"Ya amplop! Kok, kamu mendadak jadi Mama kedua, sih?"
"Aku takut perasaanmu kepadaku akan luntur karena terpengaruh Mamamu...."
"Dih, memangnya baju apa pakai luntur-luntur segala," Syanda bergurau. "Eh Dit, maksud Mama kan baik juga sebetulnya," ujar Syanda lagi, mencoba berpikir dewasa.
"Baik?!" Aditya mencibir. "Berusaha memisahkan kita, itu kamu katakan baik?!"
"Mama tidak sepicik itu. Mama hanya tidak ingin melihat aku bergaul dengan cowok urakan. Nah, kamu harus introspeksi, dong! Perbaiki sikap dan tingkah kamu. Mulai sekarang jangan suka ngebut. Jangan suka merokok. Jangan suka begadang. Itu saja. Begitu lho, maksud Mama."
Aditya menghela napas. Sementara Syanda hanya memilin-milin tepian roknya sebagai pengusir keterdiaman mereka. Enam bulan sejak perkenalan mereka di orientasi kampus sudah mampu menautkan dua kutub hati yang berbeda. Aditya dengan kebengalannya akibat broken home, dan Syanda yang tumbuh berkembang dalam didikan Katolik yang saleh.
"Aku pulang dulu ya, Syan?" pamit Aditya setelah meneguk minumannya sampai tandas. "Sudah larut malam."
Syanda mengangguk.
"Pamitkan aku pada Mamamu, ya?"
"Langsung pulang ya, Dit?" pesan Syanda mewanti-wanti.
"Oke. Aku mampir sebentar ke Menteng, tapi. Kalau tidak, nanti aku dibilangin sombong lagi. Mentang-mentang sudah punya pacar sehingga melupakan teman lama," jawab Aditya sambil menaiki motornya dan memasang helm. "Eh... ada yang kelupaan."
Aditya turun dari motornya dan membuka helm. Dihampirinya Syanda yang anggun berdiri dengan denimnya. Cup. Sebuah kecupan singgah di dahi Syanda.
"Met bobo, ya? Have a nice dream, " bisiknya lembut.
"Jangan kebut-kebutan malam ini lagi, ya?"
Aditya mengedipkan matanya. Sesaat kemudian motor pun menderu dan meninggalkan Syanda dengan lambaiannya.
Di dalam kamarnya, di atas tempat tidurnya, Syanda semalam-malaman tidak dapat memejamkan matanya lagi. Itulah kecupan pertama yang dirasakannya dari seorang cowok. Kecupan dari Aditya. Cintanya yang pertama.

***

Syanda menguap lebar sementara HP-nya masih menempel di telinganya. Juga suara Sonya yang seperti cucakrawa itu membujuknya supaya kuliah hari ini.
"Cuma Kewiraan kok, Syan. Masuk sajalah," bujuk Sonya di seberang sana.
"Justru karena cuma Kewiraan saja aku jadi malas."
"Ya ampun... kujemput, deh!"
"Bukan soal jemput menjemput...."
"Apa perlu aku sewa motor trail untuk menjemputmu?"
"Hei, ngeledek kamu, ya?"
Didengarnya suara Sonya terkekeh.
"Habis, susah amat sih bikin kamu insyaf buat kuliah."
"Aku lagi tidak enak badan nih, Son. Asli, tidak tahu kenapa pikiranku hari ini tidak karuan." Syanda memijit pelipisnya. Bukan, bukan kepalanya yang pening. Tapi, dia merasakan sesuatu yang janggal pagi ini.
"Kalian bertengkar tadi malam?"
"Tidak."
"Atau, Mamamu yang cicit-cuwit itu lagi ngedumel soal Aditya?"
"Termasuk. Tapi, ah tauklah. Aku titip catatan saja, ya? Mau, kan?" bujuk Syanda. "Aku tahu kamu teman yang terbaik sedunia."
"Dih, kalau ada maunya...." Sonya terkekeh. "Boleh saja, Syan. Tapi...."
"Tapi apa?"
"Asal kamu tahu saja. Teman yang baik perlu disuap agar lebih baik lagi. Sepotong burger dan segelas es krim di McDonalds bolehlah. Hehehe."
"Ember." Syanda turut terkekeh. "Cingcai-lah."
"Oke. Hati-hati di rumah ya, Non? Nanti sore aku ke rumahmu. Salam buat tukang balapmu itu."
Bip.
Telepon diputus. Syanda menggeliat. Kalau bukan karena dering telepon Sonya, tentu dia masih bermalas-malasan di tempat tidur. Dan, masih bermimpi tentang Aditya!
Hei... apa mimpinya tadi malam?! Rasanya bukan mimpi yang indah. Buktinya, dia bangun dengan badan yang basah oleh keringat dan rambut acak-acakan.
Mimpi buruk, keluhnya dalam hati. Semoga saja cuma mimpi. Dan semoga saja perasaan tidak enak yang bermain dalam hatinya saat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan mimpinya tadi malam.
Syanda beranjak ke dapur. Dibukanya tutup wadah kopi dan dituangkannya tiga sendok kopi instan pada cangkirnya.
Kring-kring-kring.
Telepon berdering lagi. Namun kali ini telepon rumah. Tapi beberapa saat kemudian terhenti. Tentu sudah diangkat oleh Santi, adiknya. Perlahan Syanda menuang air panas dari dispenser setelah menabur krimer dan mengaduk-aduknya.
"Syan... telepon untukmu," ujar Santi di muka dapur. Wajahnya kelihatan agak pucat.
"Dari siapa?"
"Suara perempuan. Tapi sudah kututup."
"Lho, bagaimana sih kamu ini?" seru Syanda, tidak jadi meneguk cappuccino yang sudah berada di pelepah bibirnya.
"Ka-katanya... Aditya berada di panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa'!" jawab Santi terbata-bata.
Syanda tercekat. Panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa'?! Siapa pun tentu tahu tempat seperti apa itu. Tapi kalau Aditya masuk ke panti itu.... Ah, salah apa Aditya?! Panti itu kan, tempat untuk merawat mereka yang kecanduan dan terlibat pemakaian obat-obat terlarang-narkoba?!
"Pe-perempuan itu tidak bi-bilang apa-apa lagi, San?!" tanyanya nyaris tanpa ekspresi.
"Tidak. Katanya cuma menyampaikan permintaan Aditya untuk memberitahumu," jawab Santi sambil duduk di hadapan Syanda. "Sebetulnya Aditya itu nyabu atau tidak, sih?"
Syanda menggeleng lemah.
"Kamu yakin dia bukan junkies?" tanya Santi lagi kurang yakin.
"Aku tidak tahu!" Syanda bangkit berdiri. Memijat keningnya kemudian. Dia benar-benar shock.
Santi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aditya... ah, pasti polisi-polisi itu salah menangkap orang. Pasti Aditya hanya ikut terjaring operasi penertiban narkoba dan ekstasi. Mungkin beberapa temannya memakai narkoba. Tapi Aditya? Syanda membatin galau. Dia kenal betul siapa Aditya Putra Wicaksana. Tukang balap yang setiap Minggu tidak pernah absen ke gereja. Tapi kalau teman-temannya junkies, apakah tidak mungkin Aditya juga ikut-ikutan walau cuma sedikit?
"Ti-tidak mungkin! Tidak mungkin!" desis Syanda berulang-ulang. Matanya mulai membasah. Bibirnya bergetar menahan tangis.
"Tapi, Aditya kan perokok?" bantah Santi.
"Aku harus ketemu Aditya!" Syanda meninggalkan Santi yang masih menatap kakaknya dengan pandangan heran.
Siapa pun pasti heran. Gadis semanis dan sepandai Syanda mau menggantungkan hatinya pada cowok bengal yang tidak ketahuan ke mana tujuan hidupnya. Tapi, siapa yang tahu kalau di balik semua sikap buruk Aditya ternyata ada sebongkah emas murni. Dan Syanda-lah yang tahu di mana emas itu tersembunyi.
Cuma Syanda yang tahu.

***

"Waktu Nona cuma tiga puluh menit," pesan satpam yang mengantar Syanda ke ruang tamu panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa'. Ternyata panti rehabilitasi ini juga dilengkapi dengan beberapa aparat keamanan. Syanda agak bergidik tatkala melihat beberapa penghuni yang juga sedang menerima tamu. Badan mereka kurus kering dan tatapan mereka hampa. Ah, Aditya-nya bukan orang jenis seperti itu.
Dan Syanda semakin yakin kalau polisi salah menjaring orang. Mata Aditya selalu berbinar dan bersemangat manakala menyanyikan lagu-lagu rohani di gereja. Ah, mana bisa dia disamakan dengan para junkies itu?!
"Kamu datang juga," suara berat Aditya membuyarkan lamunan Syanda.
"Ka-kamu... ke-kenapa?!"
Aditya menarik kursi di hadapannya. Menatap lurus sepasang mata indah milik gadis yang belakangan ini diakrabinya melebihi apa pun juga.
"Kamu pikir aku sama dengan mereka...."
"Tidak. Aku yakin kamu tidak bersalah...."
Aditya mengerjap-erjapkan matanya. Kepalanya terkulai lemas. "Malam itu, Omar dan Maxi ternyata bikin pesta gila-gilaan di rumahnya, di tempat kami biasa nongkrong ramai-ramai. Aku ingat pesanmu untuk segera pulang, Syan. Tapi terlambat. Polisi ternyata sudah mengepung kami. Semua terjaring. Malah, Maxi dan Omar ditahan di polsek Menteng," ceritanya dengan suara serak.
"Tapi kamu ti-tidak...."
"Demi Tuhan, Syan. Demi Tuhan aku tidak...."
"Aku percaya...."
"Terima kasih. Hanya kamu yang mau percaya aku."
Syanda memaksakan bibirnya tersenyum. "Berapa lama kamu di sini?"
"Entahlah, Syan. Mungkin sebulan. Atau, mungkin pula bisa setahun...."
"Se-setahun?!" Syanda terbelalak.
"Kamu malu aku masuk panti rehabilitasi?"
Syanda menggeleng. "Aku tidak peduli. Aku hanya takut membayangkan hari-hari yang mesti kulalui tanpa kamu."
Aditya mengeraskan rahangnya. Berusaha menahan airmata yang hendak menyeruak. Laki-laki pantang mengeluarkan airmata. Dia harus menunjukkan ketabahannya di hadapan Syanda. Bukannya malah menambah rasa pedih di hati gadis yang sangat disayanginya itu.
"Memang lama. Tapi...."
"Ak-aku akan tabah, Dit. Aku akan menunggu...."
"Ja-jangan...."
Syanda tersedu. "Ak-aku akan menunggumu sampai kapan pun juga!"
Aditya merengkuh pundak gadisnya. Membiarkannya menangis di bahunya. "Terima kasih untuk ketulusanmu."
Waktu berlalu. Tiga puluh menit berjalan tanpa terasa. Mereka harus berpisah tepat ketika bel tanda besuk berakhir berdenting memekakkan.
"Pulanglah...."
"Dit...!" Syanda kembali memeluk Aditya setelah sesaat tadi siap melangkah keluar. "Jangan lupa berdoa, ya?"
"Pasti." Aditya mengangguk lalu melambai setelah Syanda berdiri di bawah bingkai pintu keluar ruang tamu. Ditatapnya tubuh Syanda yang menirus dan menghilang di balik tembok. Dua petugas satpam telah mengapitnya untuk menggiringnya masuk dan berkumpul dengan penghuni panti rehabilitasi lainnya.
Di luar, betapa inginnya Syanda berteriak lantang. Bahwa Aditya sama sekali tidak bersalah. Aditya bukan junkies . Tapi, siapa yang peduli? Bahkan, Aditya pun tampak pasrah dan tabah menerima kenyataan itu. Dipisahkan dari orang-orang tercinta.
Syanda menyusut airmatanya. Diayunkannya langkah lebih cepat menyusuri koridor panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa'. Dia ingin ke kapel. Berdoa di sana. Melaburkan dirinya di dalam damai dan teduhnya sinar Ilahi.

Next to Page 2

Bab II
To You I Belong

Rain feel down
You where there
I cried for you when I
hurt my hand
Storm a-rushing in
Wind was howling
I called for you, you where there....


Suara B*Witched dari Radio Prambors FM masih memenuhi ruang kamar Syanda. Di atas bantal, Syanda merenung. Terlentang menatap langit-langit kamarnya. Tiada lagi hari-hari bersama Aditya. Tidak ada lagi acara JJS yang mengesankan. Tidak ada acara shopping bersama ke Blok M Plaza. Juga, tidak ada tawa canda ceria lagi di malam Minggu. Ah, betapa beratnya menerima kenyataan kehilangan sesuatu yang amat berarti dalam hidupnya secara tiba-tiba. Hari-harinya kini terasa terpenggal. Padahal baru beberapa hari berlalu. Apalagi satu tahun?
Syanda bergidik membayangkan. Tiga ratus enam puluh lima hari harus dilaluinya dalam kesendirian. Apakah dia akan mampu mempertahankan rasa sayangnya kepada Aditya? Apakah dia sanggup memerangi setiap kejenuhan yang datang? Belum lagi sindiran sana-sini yang akan membuat kupingnya memerah. Syanda pacaran dengan junkies! Pacar Syanda ada di panti rehabilitasi milik yayasan Katolik 'Nusa Bangsa'. Ah!
Tok-tok-tok.
"Masuk," ujar Syanda tak bergeming.
Pintu berderit, dibuka. Wajah Mama menyembul.
"Sedang apa, Syan?" tegur Mama lembut sambil melangkah masuk.
Syanda menggeleng.
"Melamun terus." Mama mengangkat bantal dan guling yang berserakan jatuh di lantai. "Berantakan betul kamarmu. Uh, sama kusutnya dengan wajahmu yang awut-awutan itu."
"Nanti Syanda rapikan."
"Sudahlah. Untuk apa memikirkan anak itu lagi? Sekarang terbukti kan, kata-kata Mama dulu?" ujar Mama dengan perasaan bangga.
"Apanya yang terbukti?!" Syanda tersinggung.
"Lho? Kurang bukti apa lagi? Aditya sekarang tengah dirawat di panti rehabilitasi untuk orang yang kecanduan obat-obat terlarang. Itu tandanya dia morfinis atau entah apalah namanya. Masa sih kamu tidak sadar juga, Syan?!" pekik Mama tertahan.
Syanda menggeleng.
"Bukannya Syanda membela Adit, Ma. Tapi, Mama harus tahu kalau polisi salah menjaring orang. Adit hanya ber...."
"Ah, Mama tahu semuanya, kok," potong Mama. "Mama sudah punya firasat yang buruk pada anak itu."
"Memang Mama tidak senang sama Aditya, kok! Kenapa sih, Ma?! Apa Aditya pernah bikin salah sama Mama?!" tanya Syanda serak sambil menatap kosong langit-langit kamar.
"Tidak. Mama tidak menyukainya karena dia dekat dengan anak Mama. Mama tidak mau anak perempuan Mama ikut-ikutan rusak! Belum lagi ocehan tetangga yang ramainya seperti pasar. Mau dikemanakan muka Mama ini?! Anaknya pacaran sama pemabuk, tukang kebut, berandalan. Kok, dibiarkan saja...."
Syanda menghela napas keras. "Tapi Aditya tidak seperti sangka Mama!"
"Kamu terus saja membelanya, Syan. Heran. Jangan-jangan kamu sudah dipelet."
"Dipelet? Dipelet pakai apa?! Apa Mama tidak tahu kalau Aditya rajin ke gereja?" bantah Syanda jengkel. Mamanya mulai tidak rasional.
"Ah, itu kan cuma pura-pura saja. Supaya kamu makin simpati kepadanya. Aslinya berandalan, ya tetap saja posisinya di tengah-tengah orang yang berandalan."
"Tidak! Aditya tidak bersalah. Dia memang bandel, tapi tidak seburuk sangka Mama. Dia bukan pemabuk, pecandu narkoba. Dia bukan berandalan!" seru Syanda gusar.
Mama tersenyum melecehkan.
"Kamu mau bela dia lagi? Mau bilang bahwa polisi salah menjaring orang?"
Syanda terdiam.
"Polisi tidak asal tangkap saja, Sayang. Mereka menyelidiki dulu. Kalau Aditya ikut terjaring, itu tandanya dia betul bersalah. Dia betul morfinis, atau apalah namanya. Sebab polisi tidak bakalan menahan orang tanpa bukti."
Syanda makin diam, terjerat oleh kata-kata Mamanya. Hatinya mulai ragu. Siapa yang salah. Polisikah? Mama? Atau, jangan-jangan justru Aditya yang begitu pandai mengelabuinya? Atau... ah!
"Berhentilah memikirkan dia." Mama mengelus kepala Syanda.
Sementara lagu terus mendayu-dayu, pikiran Syanda membelit benaknya sendiri. Hanya beberapa hari berlalu tanpa Aditya, tapi semua telah tampak demikian kabur. Masih beratus-ratus hari lagi, tentulah bayangannya akan semakin jauh dan makin tak kelihatan. Makin samar, lalu menghilang....

Whenever dark turns to night
And all the dreams sing their song
And in the daylight forever
To you I belong
Beside the sea
When the waves broke
I drew a heart for you in the sand
in fields where streams
Turn to rivers
I ran to you, you where there....

***

Aditya tampak kurusan dengan seragam hijau tuanya itu. Dagunya membiru habis dicukur. Rambutnya tidak lagi gondrong. Syanda menatap iba. Aditya yang dulu senantiasa bersemangat, kini harus menghabiskan detik demi detik di sebuah panti rehabilitasi. Segalanya harus diawasi. Segalanya dibatasi. Bagai terpenjara.
"Apa kabar, Dit?" sapa Syanda canggung.
"Aku baik-baik saja. Kamu?" Adit mencoba tersenyum. Tapi di mata Syanda senyumnya kelihatan hambar. Jujur, Aditya tentu tidak kerasan di tempat ini. Senyum tadi hanya untuk membahagiakannya saja. Hanya sekedar untuk mengusir rasa resah dari dalam diri Syanda.
"Ak-aku baik." Syanda tertunduk.
"Mamamu dan Santi?"
"Mereka baik-baik saja dan titip salam untukmu."
"Mamamu juga?!"
"Ya, Mama juga...."
Aditya menyeringai. "Kamu bohong! Mamamu pasti makin benci sama aku. Bahkan, Ibuku sendiri mulai bosan menjengukku."
"Dit, kamu mau berjanji kepadaku?"
"Apa?"
"Berhentilah merokok. Berhentilah ngebut dan begadang setelah kamu keluar dari panti ini," pinta Syanda.
"Pasti. Pasti. Aku telah berhenti merokok, Syan. Dan di sini, aku lebih suka tidur ketimbang begadang."
"Syukurlah. Kamu juga tidak lupa berdoa, kan?"
"Tentu. Kebetulan di sini ada kapel. Kamu lupa, panti ini milik yayasan Katolik. Malah aku mulai akrab dengan salah satu pastornya," cerita Aditya agak bersemangat.
Tapi masih beratus hari lagi mesti kamu lalui di sini, bisik Syanda pedih. Masih adakah semangatmu esok? Lusa? Bulan depan?
"Kamu juga mendoakan aku?" bisik Syanda. Menggenggam jemari Aditya.
"Ya. Mendoakan kita. Aku dan kamu. Juga Mamamu."
"Mamaku juga?!"
"Ya. Aku menyesal. Seandainya saja sejak dulu kemauan Mamamu kuturuti, tentu Mamamu tidak akan menentang hubungan kita. Juga tragedi sialan ini tidak bakal terjadi...."
"Sudahlah, Dit!" Syanda menyentuh lembut bahu kekasihnya.
"Aku kangen kamu, Syan...."
"Kamu pikir aku tidak? Aku sering kebingungan menghabiskan malam Minggu-ku dengan membaca atau menonton TV," ujar Syanda.
"Kamu... ah maaf. Aku ingin tahu, apakah ada yang mengisi tempatku di hatimu selama aku tidak ada?" tanya Aditya hati-hati.
Syanda menggeleng. "Jangan bicarakan hal itu."
"Apakah kamu akan setia, Syan?" Aditya menatapnya dengan tajam.
Syanda makin rikuh. Dia takut Aditya membaca kebimbangan yang mulai sering merecoki hatinya. Ah, kamu tidak tahu bagaimana kejamnya dunia memusuhimu, Dit! Mempengaruhiku untuk meninggalkanmu dan merengkuh asa yang lebih baik. Selama ini aku mencoba bertahan tapi aku mulai ragu. Apakah pasak yang kita bangun bersama akan cukup kuat menyanggah setiap empasan badai yang datang? Sementara hari masih begitu panjang dan gersang. Apakah semua akan berlalu seperti rencana kita, Dit? Syanda membatin dengan kepala tertunduk. "Hei, kamu tidak datang untuk membingkiskan airmata untukku, kan?" goda Aditya, mencairkan kebekuan suasana, lalu menghapus titik airmata yang menempel di pipi kekasihnya tersebut.
Syanda tersenyum. Menyusut sisa airmata yang menggantung di sudut matanya yang tak tersentuh tangan Aditya tadi.
"Ma-maafkan aku, Dit. Aku sedih membayangkan hari-hari sepi yang harus kamu lalui sendiri di sini," kilahnya.
"Aku akan baik-baik saja."
Bel berbunyi. Memisahkan mereka kembali. Hari terus berganti dan roda terus berputar. Bagi Aditya, mungkin tidak terlalu sulit. Tapi aku? batin Syanda.

Syanda menyeret langkahnya meninggalkan panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa' dengan hati galau. Dunia seakan menertawakan dirinya yang mau saja setia pada pemuda seperti Aditya. Duh!

Next to Page 3

Bab III
Aku Akan Tetap Menunggumu

Syanda tercenung menatap lembar-lembar diarinya. Belakangan ini dia seolah menorehkan kenangan biru dan kelabu semata. Biasanya, hari-hari yang dicatatnya adalah hari penuh bunga, penuh tawa dan canda ceria bersama Aditya. Tapi kini?
Dihelanya napasnya yang kian hari terasa berat. Bahkan ada sekelumit rasa enggan untuk mengisi diarinya lagi.
Diari, tulisnya. Entah apa lagi yang akan terjadi esok, lusa, minggu depan, bulan depan, seratus hari lagi, dan... ratusan hari yang lain lagi. Ah, sepertinya semua mendadak hilang. Begitu tiba-tiba dan tanpa sisa untukku!
Apa yang tengah dilakukan Aditya di panti sana? Apakah dia merasakan sepi yang menggigit nurani ini? Apakah dia juga tengah bergumul dengan keragu-raguannya? Apakah dia juga mulai bimbang? Ya, Tuhan! Kenapa petaka itu harus ditanggungnya?!
Rasanya Aditya berada jauh. Sangat jauh. Karena biasanya, tidak ada jarak di antara kami. Tapi sekarang? Hanya tiga puluh menit seminggu. Betapa singkatnya. Betapa pendeknya setiap detik yang berlalu untuk bertukar kasih dan sayang. Waktu seolah musuh yang menakutkan buatku! Waktu pulalah yang memisahkan aku dengan Aditya. Aku benci, aku benci waktu! Syanda membatin pilu.
Tapi, apakah ini yang dinamakan cinta? Aku tidak tahu. Selama ini pikiranku belum sampai ke sana . Aku hanya kadang merasa takut kehilangan Aditya. Aku rindu. Aku kangen. Tapi, aku bimbang....
Mungkin cinta memerlukan pengorbanan. Apakah aku siap menderita untuk Aditya?! Jawabnya masih kucari, entah di mana. Bahkan, di hari-hari belakangan ini pun aku mulai ragu. Apakah aku masih memiliki kesetiaan untuknya?! Apakah aku masih harus setia menunggunya?!
Kami masing-masing sudah menjauh. Tidak lagi saling mengetahui. Tidak lagi saling berbagi. Setiap perjumpaan, yang hadir hanyalah airmata kesedihan. Tidak ada lagi derai tawa. Tidak ada lagi senyum Aditya yang membuatku rindu. Semua telah berubah....
Syanda menghela napas. Direbahkannya dirinya ke sandaran kursi.
"Syan...," panggil Santi yang tiba-tiba saja sudah masuk dalam kamar.
"Ada apa?" Syanda menghapus dua titik airmatanya. Ditenangkannya dirinya. Dia tidak ingin Santi mengetahui kalau dia kembali menangisi Aditya. Cowok yang sudah rusak segala-galanya di mata orang-orang.
"Boleh mengganggu?" Santi duduk di bibir ranjang. "Sudah selesai menulisnya?"
Syanda mengangguk. Menutup diari merah mudanya.
"Tadi aku ketemu Nimo di Pondok Indah Mall. Kamu masih ingat dia? Katanya, teman SMA-mu."
Syanda termenung sesaat. Nimo?! Geronimo Panggabean?!
"Ya, ya. Aku masih ingat."
Syanda tersenyum. Siapa yang tidak kenal Nimo. Anak Batak bandel yang gencar mengejarnya itu. Dia cukup cute. Tajir. Royal. Dan yang pasti, dia anak pejabat berstatus sosial baik-baik. Syanda terkenang masa SMA-nya dulu. Waktu itu, semua tahu Nimo tergila-gila kepadanya. Tapi itu dulu. Sebelum dia mengenal Aditya. Meski Nimo baik kepadanya, tapi ada sesuatu yang sama sekali membedakannya dengan Aditya. Itulah sebabnya lantas dia lebih memilih Aditya.
"Nimo nanyain kabarmu," gugah Santi.
"Oya?" Syanda pura-pura cuek. "Dia masih ingat aku?"
Santi mengangguk mengiyakan.
"Katanya juga, salam buat Aditya."
"Nimo, Nimo...." Syanda tersenyum kembali.
"Sebetulnya kenapa dulu kamu menolak Nimo sih, Syan?" tanya Santi ragu.
"Kenapa? Aku juga tidak tahu kenapa. Kalau kamu kelak menghadapi masalah seperti aku, kamu akan mengerti sendiri, San."
"Tapi, Nimo memiliki hampir segalanya," bantah Santi.
"Aku tahu."
"Lalu... ah, aku heran sama kamu. Padahal, Nimo.... Duh, kenapa sih kamu masih mengharap Aditya?!"
"Aku aku hanya bersikap dewasa, San! Berkomitmen dengan janji-janjiku kepada Aditya selama ini. Terlepas dari semua itu pun, aku menemukan sesuatu dalam diri Aditya yang sama sekali tidak dimiliki oleh cowok-cowok lain. Juga tidak dalam diri Nimo," jawab Syanda dengan suara paruh tangis.
"Apa itu?!" Santi bertanya sinis. Melecehkan.
"Kejujuran. Aditya memang nakal. Bandel. Tapi, dia jujur. Dia tidak malu orang lain mengetahui tingkah-lakunya. Dia tidak menutup-nutupi apa pun dariku. Aku salut!"
"Kamu juga salut dong, dengan keberhasilannya masuk panti rehabilitasi?!" serang Santi memojokkan.
"Ka-kamu...." tukas Syanda gusar. "Dia bukan junkies, San! Harus berapa kali aku bilang, kalau itu bukan salah Aditya! Dia hanya ikut terjaring saat operasi berlangsung. Dia tidak tahu apa-apa!"
"Apakah kamu tidak memikirkan apa yang bakal terjadi padanya bila kelak dia keluar dari panti rehabilitasi itu? Dia akan terkucil, Syan!" teriak Santi, berdiri dari duduknya. "Apakah kamu mau ikut-ikutan dikucilkan orang? Oh, Syanda, kakakku sayang! Berpikirlah rasional. Kamu terlampau sentimentil. Sok idealis tanpa memperhitungkan untung-ruginya."
"Cinta tidak pernah memperhitungkan untung-rugi, San!" Syanda menggigit bibir.
"Kamu kelewat mencintainya! Oh, betapa beruntungnya cowok itu, dicintai kakakku yang berhati bidadari."
Syanda tercekat. Setulus itukah cintanya kepada Aditya?! Padahal, sejujurnya dia mulai ragu dengan kesetiaan cintanya kepada Aditya! Cuma cinta emosi, mungkin. Syanda mengusap wajahnya.
"Syan, lupakanlah Aditya-mu itu. Tinggalkan Aditya sekarang, dan mulai lagi dengan harimu yang baru. Masih banyak kok, cowok yang lebih baik dari dia." Santi masih berusaha membujuk.
"Tinggalkan aku sendirian di sini, San!" pinta Syanda lemah.
"Oke, oke," Santi mengembangkan senyumnya sembari menjawil hidung kakak semata wayangnya itu, jelas untuk meringankan suasana hati. Kemudian dilangkahkannya kakinya dengan melompat-lompat kecil sampai ke bawah bingkai pintu kamar. "Tapi janji lho, kamu tidak akan nangisin Aditya-mu itu lagi."
Syanda ikut tersenyum. Dan mengangguk perlahan.
"Eh, Syan, Nimo janji akan meneleponmu, lho," Santi menghentikan langkahnya di bawah bingkai pintu kamar Syanda. "Jangan marah, ya. Tanpa seizinmu, aku sudah ngasih dia nomor HP-mu."
Syanda kembali tersenyum.
"Dia sudah tahu semuanya tentang Aditya. Sori, aku cerita semua kepadanya. Dia juga janji akan datang kemari untuk menghiburmu, kapan-kapan." Santi berlalu tanpa merasa bersalah.
Menghiburku?!
Syanda tersenyum kecut. Satu-satunya hiburan bagiku adalah kembalinya Aditya. Bersamaku, mengisi hari-hariku yang terasa hampa. Dan barusan Santi bilang Nimo akan datang menghiburku. Untuk apa? Untuk melupakan Aditya? Untuk menghapus namanya dari dalam hatiku? Tidak! Tidak ada yang bakal dapat menggeser posisi dia. Aku tidak bakal dapat melupakan dia! Bukankah aku sudah berjanji padanya untuk tetap setia?! Menunggunya hingga dia keluar dari panti rehabilitasi seberapa lama pun?! Tidak! Aku bukan cewek tukang ingkar janji. Aku bukan cewek tipe kutu loncat. Aku tidak bakal melupakan Aditya hanya karena sekarang namanya telah tercemar.
Aku akan tetap menunggunya.

Next to Page 4

Bab IV
Asmara dari Seberang

Kamu makin kurus saja, Syan," ujar Sonya sambil mengunyah permen karetnya. Mereka berjalan beriringan di antara para mahasiswa lain yang menuju ruang kuliah masing-masing.

"Ah, masa?" Syanda memperhatikan pergelangan tangannya. Dia selalu mengukur kondisi badannya dari pergelangan tangan. Dan dilihatnya tonjolan tulang di sana. Berarti Sonya tidak salah. Badannya memang menyusut beberapa kilogram.
"Masih sering menjenguk Aditya?"
"Tentu. Kalau bukan aku, siapa lagi?"
"Ibunya?"
"Ah, semua telah mengucilkan Aditya. Padahal, Aditya tidak bersalah," ujar Syanda seolah kepada dirinya sendiri.
"Tapi, itu kan pengakuannya terhadapmu?"
"Maksudmu, Aditya berbohong sama aku?!" Syanda menghentikan langkahnya sesaat. "Tidak mungkin!"
"Kamu begitu yakin?"
"Ya."
"Kamu tipe cewek setia, Syan," kelakar Sonya.
"Setia? Rasanya pujian itu terlalu berlebihan. Kamu perlu tahu, Son, akhir-akhir ini aku sering bimbang. Apakah aku harus terus bersedih? Atau, mulai berpikir untuk hari-hari dan masa depanku sendiri."
"Of course. Satu tahun bukan waktu yang singkat memang...." Sonya ikut merenung.
Syanda mengerjapkan matanya.
"Sudahlah. Kuliah apa hari ini?" ujarnya, mengganti pokok pembicaraan. Semangatnya selalu surut setiap kali membicarakan soal Aditya dan soal masa depannya bersama Aditya. Juga soal kesetiaan. Soal apa pun tentang Aditya hanya akan menumbuhkan kedukaan yang kian dalam saja. Makin membuatnya merasa bahwa hari penantian kian panjang dan tak berujung.
"Hari ini Kewiraan. Dua jam."
"Kewiraan lagi? Huh!" Syanda menghela napasnya.
"Pasti malas lagi. Bolos lagi?"
"Tauklah. Aku bosan sama Pak Irwan dan caranya mengajar itu. Setiap kali mata kuliah Kewiraan, aku hanya terkantuk-kantuk di ruang kuliah."
"Jadi?" Sonya menghentikan langkahnya di pertigaan koridor. "Kamu terus atau ke kiri?"
Syanda melirik ke kiri. Rasanya lebih baik dia menghabiskan siang ini di kantin saja. Seorang diri, menghabiskan waktu sembari menanti Sonya untuk pulang bareng nanti.
"Ke kiri saja." Senyum Syanda disambut cubitan jengkel Sonya.
"Tunggu aku, ya?" pesan Sonya sebelum berlalu.
Syanda melambai. Diayunkannya langkahnya ke kantin. Lantas dipesannya secangkir cappuccino dan sepotong roti keju bakar setibanya di sana. Ah, betapa segarnya badannya setelah beberapa hari dia menghindarkan diri dari tempat yang bernama kampus ini. Betapa jernih pikirannya setelah beberapa minggu dia menghindari tatapan orang-orang yang kebetulan tahu siapa dia dan siapa Aditya.
Diteguknya kopinya dengan semangat begitu pesanannya tersaji di hadapan. Ah, mana tisu? Syanda mengorek-ngorek tasnya untuk mencari sepotong tisu guna memegang roti bakar yang berminyak dan agak panas itu.
Pluk. Sebuah benda terjatuh dari tasnya. Korek api Aditya! Korek api yang dulu sempat disembunyikannya agar Aditya tidak merokok di rumahnya.
"Punyamu?"
Ups. Rupanya Syanda kalah cepat dengan tangan kekar yang kini menyodorkan benda itu kepadanya.
"Ya." Ditatapnya si penolong itu. Seorang cowok berambut cepak ala Tintin, berkemeja garis-garis dengan lengan baju yang dilipit rapi.
Cowok itu tersenyum simpatik.
"Terima kasih," ujar Syanda lagi.
"Sama-sama. Kamu kuliah di sini?" tanyanya lagi.
Syanda mengangguk.
Cowok itu menatap berkeliling. Rupa-rupanya kursi kantin telah penuh terisi. Syanda menatap cowok itu lantas mengambil inisiatif.
"Duduklah di sini kalau kamu mau."
"Oh, terima kasih. Kursi-kursi kantin selalu penuh pada jam-jam begini. Jam-jam lapar! Hahaha...." Cowok itu tertawa. "Oya, kita belum kenalan. Saya Ivan, Ivan Prasetyo. Fakultas ekonomi semester dua."
Syanda menyambut uluran tangan Ivan. "Syanda. Syandarini Aprilia Joshepine Munaf. Aku di fakultas psikologi. Baru semester pertama."
"Calon psikolog? Wah, saya harus hati-hati kalau begitu."
"Kenapa?"
"Katanya, psikolog bisa tahu apakah seseorang jujur atau berbohong hanya dengan menatap mata orang itu. Betul? Apakah ilmumu sudah sampai di situ?"
Syanda tertawa. "Ada-ada saja," kilahnya sembari menggeleng-gelengkan kepala.
"Eh, tapi ngomong-ngomong, rasanya saya memang sering lihat kamu dulu. Habis cuti kuliah?" tanya Ivan.
Syanda menggeleng. "Sakit," dustanya.
"Oo." Ivan manggut-manggut.
"Kamu tidak mesan apa-apa?" tanya Syanda.
"Nanti saja. Ngobrol dengan kamu membuat rasa laparku hilang."
"Oya? Jadi aku kamu anggap sejenis roti bakar, ya?" kelakar Syanda. Rasanya sudah lama betul dia tidak menemukan teman untuk diajak bercanda seperti ini. Mereka tertawa bersama. Keakraban terjalin begitu cepat.
"Keberatan kalau aku menganggapmu roti bakar?"
"Tidak. Tapi aku menyesal membiarkanmu duduk bersamaku kalau tahu kamu sebetulnya bukan perlu makanan, tapi perlu teman ngobrol saja saja," ujar Syanda santai.
"Jadi betul ...." desis Ivan.
"Apanya yang betul?"
"Seorang psikolog bisa menangkap maksud seseorang hanya dari tatapan matanya."
"Jadi...?" Syanda mengernyitkan alisnya tidak mengerti.
"Kebetulan aku ketemu kamu. Aku sedang butuh teman bicara. Hm, aku tengah menghadapi persoalan dengan...."
"Pacarmu?" penggal Syanda yakin.
"Yap! Seratus lagi buat kamu!" Ivan menjentikkan jarinya.
"Kamu percaya sama aku? Orang baru kamu kenal lima menit lalu?" pancing Syanda.
"Kenapa tidak? Tiba-tiba saja aku merasa menemukan orang yang tepat untuk nuangin unek-unek. Boleh?"
"No problem. Aku siap jadi waskom curhatmu, kok." Syanda tertawa.
Ivan latah. "Begini, pacarku itu, hm... namanya Mita. Kami satu fakultas, satu ruang kuliah malah. Belakangan ini kami selalu ribut. Soal kecil bisa jadi besar. Karena itu aku jadi malas ketemu dia lagi. Nah, akhirnya ya begini. Aku keseringan bolos jam kuliah. Kamu tahu, Mita tidak pandang tempat! Kalau dia ngambek, di mana pun jadi. Nah, kalau kejadiannya di ruang kuliah, mau kutaruh di mana mukaku yang berjerawat batu ini?" cerita Ivan bersemangat.
"Lantas?"
"Lantas aku ingin menyadarkannya. Bahwa, cowok perlu juga dimanja sesekali. Jangan ditekan terus, jangan diomelin terus. Tapi, aku bingung mencari kalimat yang tepat." Ivan mengusap-usap keningnya. "Dia terlalu egois dan mau menang sendiri! Susah ngatur dia!"
Syanda tersenyum. "Kamu merasa lebih lega sekarang?"
"Yah."
"Itulah. Lain kali kalau ada persoalan, ceritakanlah pada orang yang dapat kamu percaya. Walaupun belum tentu bisa mencarikan jalan keluarnya, tapi paling tidak dengan bercerita beban batinmu sudah sedikit berkurang," ujar Syanda sok tua. Mengutip kalimat dari literatur yang pernah dibacanya.
Ivan hanya manggut-manggut. Matanya yang jenaka dan cara bicaranya yang polos mengingatkan Syanda pada seseorang. Seseorang yang kini jauh darinya. Ah, kerinduan selalu datang tiba-tiba.
Sekelebat dilihatnya Sonya melambai dari kejauhan. Syanda bergegas merapikan tasnya lalu bersiap meninggalkan tempat duduknya.
"Hei... mau ke mana?" tahan Ivan.
"Temanku sudah menjemput."
"Tapi, kamu belum memecahkan masalahku."
"Lain kali saja. Oke?" Syanda berdiri, siap untuk beranjak. "Aku sendiri sedang banyak masalah."
"Lain kali? Kapan?" desak Ivan.
"Mungkin suatu hari di kantin ini kita ketemu lagi. Atau... entah kapan." Syanda mengangkat bahunya. Menatap roti bakar yang sama sekali belum disentuhnya.
"Kamu tidak ingin kita bersahabat?"
Syanda tersenyum, lalu melambai. "Sampai ketemu...."
"Hei, tunggu! Ini korek apimu!" panggil Ivan.
"Oh... trims." Syanda menghentikan langkahnya di bawah bingkai pintu kantin. Bergegas disambutnya benda kecil bergrafer 'A' di depannya.
"Kamu merokok?"
Syanda menggeleng. "Milik temanku," jawabnya hambar.
Ditatapnya Ivan sekilas. Dirasakannya ada kerinduan yang tertambat di mata Ivan. Sepasang mata yang pernah diakrabinya. Ah, sebetulnya dia ingin menghabiskan beberapa saat lagi bersama Ivan. Berbagi cerita. Bertukar canda seperti yang biasa dilakukannya bersama Aditya. Tapi, tidak mungkin. Ada yang tengah menunggunya jauh di sana. Ada yang terperangkap dalam sepi. Ada yang menagih kesetiaannya.
"Sampai ketemu." Syanda melambai kembali lantas bergegas menghampiri Sonya. Meninggalkan Ivan yang tengah melongong, menatap langkah gegasnya yang melesat secepat camar.
"Pak Irwan tidak masuk," urai Sonya tanpa ditanya.
"Tumben...."
"Eh, siapa cowok yang bersamamu di kantin tadi...."

Next to Page 5

Bab V
Masih Ada Damba yang Tersimpan

"Halo." Syanda menyambut gagang telepon yang diberikan Santi kepadanya.
"Halo juga, Non. Masih ingat saya?"
"Maaf. Tidak. Ini dengan siapa, ya?"
"Nimo. Geronimo Panggabean. Masih lupa? Atau, perlu keterangan lainnya? Hahaha... apa kabar, Syan?"
Cowok bersuara bariton di seberang sana terdengar tertawa. Dan saat itu baru Syanda teringat. Tawa Nimo mengingatkannya pada masa-masa silam. Masa SMA-nya.
"Astaga! Apa kabar, Nimo?"
"Baik. Kamu sendiri?"
"Baik."
"Masuk psikologi, ya?"
"Kok, tahu?"
"Santi yang cerita."
"Oh. Kamu sendiri?"

"Aku ambil komputer di San Fransisco. Sedang liburan, kembali ke Jakarta."
"Welcome back, kalau begitu."
"Thank's. Hei, Kamu sekarang sombong, Syanda. Tidak pernah nelepon. Tidak pernah mengabari aku lagi. Sampai-sampai aku harus mencari tahu kabarmu lewat teman-teman SMA dulu," ujar Nimo dengan nada suaranya yang khas. Keras.
"Ah...."
"Bagaimana kabarnya, Aditya?"
"Ba-baik!" Syanda terbata.
"Aku turu... turut apa, ya? Mendengar kabar Aditya masuk panti rehabilitasi, aku ikut prihatin. Sungguh Syan, aku tidak nyangka Aditya seburuk itu. Aku...."
"Sudahlah!" penggal Syanda jengkel. "Kalau kamu hanya menelepon untuk membicarakan kejelekan Aditya, lain kali saja!"
"Oh, maaf. Tunggu dulu, Syan. Aku hanya...."
"Semua selalu menuduh Aditya yang bukan-bukan. Aditya yang salah, Aditya yang buruk, Aditya yang junkies. Lalu buntut-buntutnya aku yang bodoh, yang mau saja menanti cowok bengal tukang teler yang sudah tidak punya masa depan lagi!" seru Syanda dengan isak tertahan.
"Syanda...."
"Beratus kali sudah kukatakan kepada semua orang. Aditya tidak bersalah. Dan aku juga tidak salah menanti dia. Kesetiaanku selama ini bukanlah sesuatu yang tolol dan sia-sia. Kamu dengar itu?!"
Klik.
"Hallo! Hallo! Syan, Syanda...!"
Tapi Syanda telah membanting gagang teleponnya. Menuntaskan setiap percakapan tentang Aditya. Tentang kebodohan dirinya. Tentang penantiannya yang terasa sia-sia. Penantian yang tak berujung.
Benarkah tindakanku ini? Syanda bertanya kepada dirinya sendiri. Ditatapnya bayangan dirinya dalam cermin besar bufet di muka pesawat telepon. Ada seraut wajah tirus dengan sepasang mata sayu di sana. Aditya telah pergi membawa hari-hariku. Akankah dia kembali? Haruskah kutunggu dia dan kubiarkan diriku sendiri hancur oleh penantian dan kerinduan yang sarat? Tidak bolehkah aku sedikit memikirkan diriku sendiri? Membenahi hatiku yang porak-poranda dan menata kembali hari-hariku? Mencari secuil keceriaan, tawa dan semangat dari orang lain?
Sekilas seraut wajah melintas di benaknya. Ah, Aditya! Akankah semua usai dan berganti dengan hari-hari yang indah seperti dulu lagi?

***

Ruang tunggu di panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa' masih sama seperti minggu-minggu yang lalu. Dua minggu sudah Syanda alpa menjenguk Aditya.
"Apa kabar?" sapa Aditya agak kering.
"Baik."
"Lama tidak kemari...."
"Kamu marah?" tanya Syanda hati-hati.
Aditya menggeleng. "Tidak ada yang salah. Kamu berhak merasa jenuh...."
"Aku tidak jenuh, Dit. Hanya saja... hanya saja kuliahku menuntut waktu yang agak banyak. Kamu tahu sendiri, beberapa waktu lalu nilaiku jeblok semua. Kini aku tengah memperbaiki segalanya. Memulai lagi dari awal, sendiri tanpa kamu. Kamu mengerti, kan ?"
Aditya mengangguk. "Aku sudah banyak menyusahkanmu, ya?" bisiknya lembut, menepuk punggung tangan Syanda dengan lembut. Ada getar rindu yang tercetus di sana .
Syanda menggeleng.
"Aku tidak memaksamu datang setiap minggu. Sungguh. Kalau kamu mau, kamu boleh tidak datang. Kalau kamu sibuk... ah, siapalah aku ini! Aku mulai terbiasa berkawan dengan sepi, kok!"
"Jangan ngomong begitu, Dit! Siapa bilang aku enggan datang? Aku sa-sama sekali...."
"Tidak ada pemaksaan...."
"Siapa bilang aku merasa terpaksa?"
"Lho? Kenapa kamu jadi mudah tersinggung seperti ini, Syan?" tanya Aditya agak terkejut.
"Aku menyempatkan diri datang dengan maksud mendengar ceritamu. Untuk menceritakan apa yang terjadi pada diriku selama ini. Untuk melepas rindu, tapi kamu malah menuduh yang bukan-bukan. Kamu bilang, aku bosan. Aku jenuh. Aku enggan. Apa-apaan sih, ini?" pekik Syanda kecewa. Padahal, dia merasa sudah cukup banyak berkorban untuk Aditya. Airmatanya mulai menitik.
"Syanda...!"
"Aku tidak ngerti, Dit! Kamu seperti tidak peduli, betapa sulitnya aku menghadapi situasi di luaran. Aku sendiri dikecam banyak orang. Bahkan, Mama dan Santi pun ikut-ikutan mengecamku. Mengatakan aku bodoh, menanti sesuatu yang tidak pasti."

"Jadi, kamu mulai bimbang?"
"Ak-aku tidak bimbang. Ke-kenapa kamu menuduhku yang bukan-bukan. Kamu bilang aku bosan. Aku jenuh. Aku...."
"Sudah, Syan. Cukup!" potong Adit tandas. "Kalau kamu datang ke sini hanya untuk memaki-makiku, kamu boleh pulang sekarang!"
"Aditya! Ka-kamu...!"
Aditya melepaskan genggamannya. Dibuangnya pandangannya jauh ke taman panti. Cepat atau lambat, dia telah menduga hal ini akan terjadi. Sebenarnya dia telah mempersiapkan diri sejak awal dia direhab di panti ini. Dia sudah menyiapkan dirinya untuk kemungkinan ini. Kemungkinan yang paling buruk. Dia sudah siap untuk ditinggalkan. Karena selama ini memang semua telah meninggalkannya. Ayahnya, Ibunya, bahkan Syanda pun kini mulai bimbang. Mulai ragu. Mulai menjauhinya.
"Dit, aku...."
"Sudahlah, Syan. Maafkan kata-kataku yang kasar tadi...." Aditya mengusap wajahnya seolah mengusir galau yang berkecamuk di benaknya.
"Aku maklum. Kamu kesepian di sini, Dit. Tapi, kamu juga harus mengerti keadaan dan penderitaanku di luar...."
Aditya mengangguk-angguk. "Aku mengerti semuanya. Aku juga mengerti kalau kamu mulai merasa penat dengan penantianmu...."
Syanda tercenung. Penatkah dia? Sejauh ini dia masih berusaha untuk bertahan pada janji-janjinya. Bahwa menanti Aditya bukanlah pekerjaan yang sia-sia. Bahwa kesetiaannya selama ini tidaklah percuma.
Tapi kini....
Sesaat mereka bertatapan. Berpelukan. Tapi rindu tak juga turut. Masih ada damba yang tersimpan. Entah sampai kapan....

Next to Page 6

Bab VI
Bukan Aku Tak Sayang

"Nah, ketemu lagi!"
Syanda tersentak. Dan puluhan mahasiswa lain yang berada di perpustakaan itu pun ikut tersentak.
Ivan agak risih juga. "Maaf, aku mengejutkan kamu, ya?"bisiknya.
Syanda menggeleng, menunjuk pada sebilah papan bertuliskan: HARAP TENANG, RUANG BACA. Ivan tersipu. Diambilnya tempat duduk tepat di hadapan Syanda.
"Apa kabar?" bisiknya. "Long time no see, yeah?"
Syanda tersenyum. "Apa kabar juga pacarmu? Siapa namanya?"
"Mita."
"Ah, iya. Mita. Bagaimana?"
"Justru aku yang mau tanya sama kamu. Bagaimana?"
"Oo, maksudmu bagaimana penyelesaiannya?" tukas Syanda sambil mengerling.
"Iya, tapi jangan pakai mengerling begitu, dong. Demi lirikanmu, rasanya aku rela meninggalkan Mita," goda Ivan.
"Ah. Caramu bicara, caramu bercanda, mengingatkan aku kepada...."
"Aditya?" potong Ivan.
"Ka-kamu tahu?!" Syanda terbelalak. "Dari mana...."
Ivan mengangguk. "Aku tahu segalanya. Tentang kamu. Tentang Aditya-mu. Tapi, saat ini aku tidak ingin membicarakan siapa kamu dulu. Atau, siapa Aditya-mu. Aku tidak mau tahu semua itu. Aku hanya ingin berkawan denganmu. Dengan Syanda yang sekarang. Oke?" ujarnya, lugas namun tegas.
"Belum pernah ada orang seperti kamu sebelumnya," desah Syanda antara kagum dan terharu.
"Ah, sudahlah."
"Kamu mirip banget Aditya, Van," ujar Syanda sambil menatap lekat wajah di hadapannya.
Sesaat mereka saling memandang. Saling menelusuri apa yang ada dalam bayang binar mata masing-masing. Sampai akhirnya Syanda tertunduk jengah.
"Ma-maaf... aku teringat Aditya." Syanda menyadari telah kelepasan omong.
"Aku mengerti." Ivan tersenyum bijak.
"Jadi, apa yang bisa aku bantu sekarang?" Syanda menghela napas dan membelokkan arah pembicaraan.
"Tidak ada."
"Lho?"
"Aku sudah tahu jawabnya. Aku harus mengambil sikap tegas. Aku akan meninggalkan Mita. Di antara kami sudah tidak ada kecocokan lagi."
"Secepat itukah kamu mengambil keputusan? Padahal, tadi ketika baru masuk kamu masih meminta saran dariku. Aneh!"
"Setelah aku menatap matamu, aku tahu, aku harus berpisah dari Mita. Banyak yang tidak kutemukan dalam dirinya, tapi kutemukan dalam dirimu."

"Maksudmu...."
"Aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya... selama ini aku seperti merindukan suasana ceria. Santai. Tidak bertengkar melulu."
Syanda tercenung. Agaknya setiap orang memang memerlukan saat-saat seperti itu. Saat yang pernah jadi miliknya dulu. Bersama Aditya. Ya, aku pun kehilangan saat-saat yang terindah dalam hidupku, Van! desis Syanda dalam hati. Dan betapa inginnya aku merengkuh kembali hari-hari yang indah itu lagi. Dan untuk itulah aku menanti. Masih beratus-ratus hari lagi... dan aku mulai bimbang. Haruskah kujalani ratusan hari itu dengan penantian, sementara di sekelilingku banyak yang menjanjikan kebahagiaan itu sendiri?
Di satu pihak, Syanda merasa bersalah mengkhianati Aditya. Tapi di pihak lain, dia merasa berhak memperoleh jalan hidupnya sendiri. Berhak melepaskan lingkar derita yang membelenggunya karena kesetiaan yang dipertahankannya.
"Kamu sudah makan siang?"
"Belum," geleng Syanda.
"Kalau begitu, aku yang meneraktirmu."
"Untuk apa kamu meneraktirku? Alasan apa yang membuatku harus menerima tawaranmu?"
"Ayolah...." Ivan menarik tangan Syanda. "Untuk jasamu memberiku jalan keluar dari masalahku."
Syanda tersenyum. Lalu, sembari tertawa-tawa kecil mereka beriringan meninggalkan perpustakaan yang senyap. Sebuah cerita baru yang menjanjikan babak baru mulai terbit.
Agaknya....

***

Dengan langkah ringan Syanda melangkah menapaki jalan setapak menuju serambi rumahnya. Acara makan malam bersama Ivan lumayan menyenangkan kalau tidak mau dibilang istimewa.
"Dengan siapa kamu pulang?" tegur Mama halus begitu Syanda menongolkan batang hidungnya di dalam rumah.
"Ivan, teman sekampus," sahut Syanda ringan.
"Cowok bersedan merah itu lagi, ya? Sudah tiga kali kalau tidak salah kamu pulang dengan... siapa namanya?" sambung Santi sambil mengunyah popcorn.
"Ivan. Namanya Ivan Prasetyo. Mahasiswa tingkat dua fakultas ekonomi." Syanda melepas sepatunya dan mencuci tangannya lalu beranjak ke dapur. Membuka kulkas dan menuang sebotol sirup jeruk dingin ke dalam gelasnya.
"Rasanya aku kenal Ivan," Santi menyusul ke dapur. "Dia kan, seniorku ya?"
"Mungkin. Ya ampun, kenapa aku bisa sampai lupa kalau kamu juga di fakultas ekonomi? Aku selalu mengingat kamu anak teknik sebab waktu SMA dulu kamu kan, jurusan IPA."
"Yoi." Santi mengangguk-angguk. "Ivan. Hm, boleh juga. Lumayan dijadikan gandengan buat JJS."
"Dasar!" Syanda pura-pura sewot.
"Maksudku, kamu tidak salah memilih." Santi terkekeh.
"Siapa memilih siapa?" tanya Syanda, mencibir kemudian.
"Kupikir kalian...."
"Jangan macam-macam kamu. Kita cuma teman biasa. Tidak lebih dari itu. Kalau kamu mau tahu yang lebih dari sekedar teman, tidak ada nama lain selain Aditya. Tahu?"
"Teman atau teman?" goda Santi lagi.
Syanda melotot.
"Tidak usah ngotot begitu, dong," sungut Santi sambil membuntuti Syanda keluar dari dapur.
"Habis, kamu picik betul, sih. Baru jalan bersama saja dibilang pacaran. Tidak semudah itu aku melupakan Aditya! Memangnya aku gadis ABG seumur kamu yang tahunya cuma cinta monyet."
"Iya deh, yang cinta gorila!" Santi mencibir.
"Eh, ada apa ini?!" lerai Mama. "Pulang-pulang kok, malah ribut sama adiknya."
Santi membanting dirinya di atas sofa di sebelah Mama. "Biasa, Ma...."
"Biasa apa?!" Syanda melotot.
"Lagi kangen sama Aditya, ditanya sedikit sudah marah-marah," jawab Santi dengan entengnya.
"Eh eh, ngaco kamu!" tukas Syanda marah.
"Huss... Syanda, sudahlah. Maksud Santi kan , baik. Lagipula, apa untungnya tetap memikirkan Aditya? Lupakanlah dia. Bina hari esokmu sendiri. Kamu akan lebih baik tanpa Aditya. Dengarlah kata-kata Mama, Syan." Mama memijit-mijit pelipisnya. Dahinya mengerut membentuk lipatan tujuh.
Syanda terdiam.
"Kapan-kapan, kenalkan Mama sama Ivan. Boleh, kan ?" ujar Mama lagi.
Syanda menggigit bibirnya. Mengapa semua orang seolah ingin memisahkannya dari Aditya?! Mengapa tidak seorang pun mendukungnya untuk tetap setia terhadap Aditya?! Apakah mereka tidak tahu bahwa dalam hatinya pun tengah berkecamuk perang antara tetap setia dan menggapai masa depan sendiri?! Antara tetap setia atau berpisah?! Mengapa tidak seorang pun meyakinkannya untuk tetap setia?! Mengapa?!
"Syanda...," panggil Mama.
Tapi Syanda tak peduli. Dilangkahkannya kakinya berlari memasuki kamarnya. Mengunci diri di sana. Membiarkan keheningan melarutkannya dalam lamunan. Dalam angan-angan kebimbangan, dia harus memilih. Tapi saat ini dia enggan memilih siapa pun.
Dit, doakan agar aku tetap berpegang pada janji-janji yang pernah kita ucapkan bersama. Aku sayang kamu, Dit. Aku rindu kamu. Tapi rindu yang seolah tak berujung ini malah menyeretku pada kebimbangan demi kebimbangan.
Syanda membatin galau. Setiap hari dia berdoa untuk Aditya. Melakukan segalanya untuk Aditya. Namun, akhirnya dia sadar. Dia hanya manusia biasa. Dia bukan bidadari yang memiliki kesetiaan tanpa batas.

Next to Page 7

Bab VII
Sepenggal Cinta Lain

Hari terus bergulir bagai roda pedati yang terus berputar. Dan Syanda semakin larut dalam memori indah hari-harinya yang hilang dulu. Segalanya. Hampir segalanya ditemukannya dalam diri Ivan. Semua sifat Aditya, tercermin dari sikap dan tingkah Ivan. Di sana , ada kebahagiaan yang pernah menjadi bagian termanis dalam hidupnya. Tanpa dia sadari, semua itu semakin melarutkannya. Menyeretnya lebih jauh ke alam yang sebetulnya semu. Yang sebetulnya sama sekali tidak diinginkannya.
Senja itu, seusai menghabiskan seharian waktu JJS di Plaza Senayan, mereka beristirahat di Starbucks.
"Minum apa?" tanya Ivan pada Syanda sewaktu pelayan datang.
"Cappuccino."
"Makan?"
Syanda menggeleng.
"Cappuccino satu, espresso satu, dan roti cruissant-nya," ujar Ivan pada pelayan.
"Kenapa kamu baik banget sama aku, Van?" tanya Syanda, lebih untuk dirinya sendiri.
"Aku? Baik sama kamu? Kamu ini lucu." Ivan tersenyum.
"Ak-aku... ah maksudku, sebelumnya belum pernah ada orang setulus kamu selain...."
Mereka bertatapan. Tanpa sadar, sesaat jemari mereka saling menggenggam, namun Syanda sadar dan cepat menariknya.
"Maafkan aku," tukas Ivan, seperti tahu apa yang ada di benak gadis di hadapannya. Seolah tahu bahwa Aditya masih menjadi bayang-bayang baginya.
"Mungkin aku adalah orang terbodoh di dunia," keluh Syanda. "Seorang calon psikolog yang tidak mampu menolong dirinya sendiri."
"Aditya...."
"Dia...."
"Aku tidak pernah memaksamu untuk bertindak apa pun, Syan."
"Aku tahu, karena itu kukatakan kamu adalah satu-satunya orang yang tulus yang pernah kukenal selain Aditya."
Ivan terdiam dengan pandangan menerawang. Ludahnya tiba-tiba memahit.
"Ak-aku takut dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Tapi, ah... lupakanlah. Bicaraku memang tidak karuan." Syanda mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir pikiran yang sempat melintas barusan.
"Kamu masih mempertahankan kesetiaan bagi Aditya?" tanya Ivan perlahan. Di matanya tersimpan berjuta harap cemas.
Syanda mengangguk. Tapi sesaat kemudian menggeleng. Mengangkat bahunya seperti orang bingung yang tidak memiliki pegangan sama sekali.
"Aku tidak tahu," desisnya.
"Kamu sedang gundah, Syan. Dan aku tidak pernah memaksamu untuk memutuskan apa pun. Biarlah waktu yang mengatur segalanya...."
"Yang aku tahu, aku harus menyelesaikan semuanya," putus Syanda sambil menatap lurus ke dinding kaca berlogo Starbucks.
"Maksudmu, kamu akan...?"
"Aku akan mengosongkan hati dan pikiranku sementara waktu tanpa seorang pun yang mengganggu."
"Ja-jadi...?"
"Aku harus memberi tahu Aditya. Kurasa... ah, bagaimana pendapatmu?"
Percakapan terhenti sesaat ketika pesanan mereka datang. Syanda mengaduk-aduk cappuccino-nya tanpa semangat. Sementara Ivan menatap roti cruissant -nya dengan perasaan hambar."
"Itu keputusan yang baik. Tapi, apakah tidak terlalu terburu-buru?"
"Tidak. Orang-orang benar, aku harus mulai memikirkan diriku sendiri. Masa depanku."
"Kamu mencintainya, Syan?" Ivan seolah menuntut jawaban yang pasti.
Syanda mengangkat bahunya seraya menghela napas berat. "Sejak dulu aku tidak pernah tahu jawabannya."
"Kamu harus membuktikannya."
"Caranya?"
"Mungkin dengan tidak menemuinya untuk sementara waktu. Atau... ah, aku bingung!"
Syanda tertawa dengan mimik paksa. Entah apa yang ditertawakan. Mungkin jalinan kehidupannya yang terasa kian rumit dari hari ke hari.
Mereka menghabiskan minuman dan makanan tanpa banyak bicara. Ketika mendung memayungi bumi, mereka beranjak meninggalkan Starbucks. Di luar, senja mulai basah oleh gerimis.
Syanda menerawang.
Dibiarkannya Ivan memakaikan jaketnya dan menggandengnya menuju mobil. Perhatian dan kesabaran Ivan semakin membuatnya terjerat. Semakin mendilematisasikannya terhadap dua pilihan yang sama-sama sulit.
Aditya adalah bagian dari hari-harinya yang dulu. Dan Ivan....
"Ke mana sekarang?" tegur Ivan ketika mobil mulai melaju meninggalkan pelataran parkir.
"Ke mana lagi? Sudah seharian kita jalan-jalan, atau apa kamu mau bawa aku ke bulan?" canda Syanda."
"Mungkin. Ke mana saja, asal kamu tidak bermuram durja begitu."
Sekilas dirasakannya tangan Ivan membelai pelipisnya. Ah.
"Hentikan segala kebaikanmu ini, Van," desahnya perlahan.
Sungguh. Dia tidak ingin mengkhianati Aditya.

***

"Aku mendapat sms dari Aditya," lapor Syanda kepada Sonya melalui horn di HP-nya.
"Oya?"
"Ya. Dan aku butuh pertimbanganmu."
"Apa yang ditulisnya?"
"Antara lain, dia kangen. Dia bingung karena aku tidak membesuknya lagi. Dia bertanya tentang banyak hal."
"Jadi, kamu benar-benar sudah tidak pernah mengunjunginya lagi?" pekik Sonya tertahan. "Gila kamu! Sebuah revolusi yang tidak pernah kuduga sebelumnya."
"Kini aku harus memutuskan sesuatu, sebelum melangkah lebih jauh."
"Dengan Ivan?"
"Ah, Sonya. Antara aku dan Ivan tidak pernah ada apa-apa. Bagiku, dia adalah dewa penyelamat. Aku tidak pernah berani membayangkan lebih dari itu."
"Lalu, apa rencanamu?"
"Aku akan membalas sms-nya, atau mungkin mendatangi Aditya dan menceritakan semuanya. Kurasa, keterusterangan lebih baik sekalipun kelihatannya menyakitkan. Aku tidak mau membohongi Aditya."
"Kamu masih mencintainya, Syan? Soalnya, aku merasakan hal itu dari ucapanmu."
"Cinta? Ak-aku...."
"Sudahlah...." Sonya tidak mau peduli. Dia sadar benar kalau Syanda masih menyimpan perasaan cintanya untuk Aditya.
"Jadi, menurutmu, apakah aku harus juga memberitahu Ivan?"
"Ya, kalau prinsipmu adalah keterbukaan. Tapi, hei... kamu kan tidak mengatakan bahwa kamu mencintai Ivan?"
"Son, please. Berhentilah mengucapkan kata 'cinta'," pinta Syanda.
"Oke." Sonya tertawa.
"Tapi, Son, aku ragu. Aku takut perbuatanku hanya akan menambah luka hati Aditya. Kamu kan tahu, selama ini semua orang telah meremehkannya. Meninggalkannya. Apa jadinya kalau aku pun, orang yang paling dipercayainya, ikut berpaling dari dia?!"
"Syan, kamu kan tetap temannya. Hanya saja ikatan yang ada di antara kalian kini agak renggang. Tidak serapat dulu. Jelaskanlah kepadanya. Kamu kan, calon psikolog...."
Syanda menghela napas panjang.

"Masih ada lagi?" tanya Sonya.
"Tidak. Thank's."
Syanda mematikan HP-nya. Hatinya berdebar. Dia harus membenahi kehidupannya sendiri. Dia tidak selamanya harus bergantung pada kesetiaannya menanti Aditya. Dan membiarkan hidupnya sendiri porak-poranda. Selama ini orang-orang ternyata benar, hanya saja dia yang kelewat sentimentil. Menutup mata dan telinganya rapat-rapat hingga dibutakan oleh cinta.
Pikirannya melayang pada Ivan. Ataukah, keputusan ini datang karena ada Ivan? Karena ada yang menjanjikan hari baru? Mungkin dia akan membiarkan waktu mengatur segalanya. Seperti kata Ivan, believe in time.
Maafkan aku, Dit. Tapi kurasa ini yang terbaik untuk kita. Syanda membatin. Setelah itu dia lalu mengacungkan cangkirnya tinggi-tinggi seolah menyalami Aditya sebagai tanda perpisahan. Lalu meneguk cappuccino-nya sampai tandas.
Dibacanya kembali penggalan sms Aditya yang diterimanya siang tadi.

Syanda,
Maafkan aku kalau sikap dan kata-kataku tempo hari menyakiti hatimu, membuatmu tersinggung. Aku tahu, prahara inilah yang menyebabkan keretakan di antara kita. Kerenggangan, ketidakdekatan kita, memang membuat kita masing-masing asing dan berubah.
Dan, aku yang seolah terpenjara kini hanya dapat merenda impian indah bersamamu. Bertemu denganmu, adalah anugerah yang terindah dalam hidupku kini. Namun aku sadar, sadar sepenuhnya untuk tidak terlalu menuntut banyak darimu. Sebab, aku tahu banyak hal yang dapat membahagiakanmu di luar sana ketimbang mengharap pemuda ringkih tanpa daya yang mendekam di panti ini.
Aku mafhum kalau kamu sekarang lebih memilih renjana indah. Bukannya renjana tak berujung dalam sarat beban penantian yang panjang. Lupakanlah aku, Syanda! Lupakanlah masa lalu kita berdua. Aku ikhlas melihatmu berbahagia dengan siapa pun yang dapat membahagiakanmu. Jangan tunggu aku lagi, sungguh pun aku rindu kabarmu, wajahmu, suaramu. Segalanya. Segalanya tentang kamu!
Tuhan beserta kita.

Salam sayang,
Aditya

Syanda kembali menghela napas panjang. Dia harus sesegera mungkin menemukan jawaban hatinya. Dia untuk siapa. Lalu, diputuskannya hengkang dari Jakarta . Mungkin pada sebuah tempat nun jauh di sana, dari setiap permenungan yang dijalaninya, dia dapat menemukan jawaban. Ada butiran hangat sebesar bulir padi yang masih mengalir di pipinya. Kepalanya memberat. Dia merasa pening tiba-tiba.

Next to Page 8

◄ Previous1234567891011Next ►

Bab VIII
Kucari Jawabnya di Sana

Syanda mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ke dalam koper. Pakaian, iPod Apple, kamera, dan beberapa perlengkapan yang diperlukannya untuk mengusir sepi di tempat pengasingannya nanti.
"Semua ini tidak bakal menyelesaikan masalah," ujar Mama, berusaha menahan kepergian putri sulungnya itu.
"Tidak, Ma."
"Apanya yang tidak? Bagaimana dengan kuliahmu?" Mama membelai rambut Syanda. "Tidak seharusnya kamu lari di saat seperti ini, Syan! Ini bukan jalan keluar!"
"Tapi, Syanda harus pergi, Ma. Syanda sudah izin cuti semester. Syanda perlu istirahat."
"Kenapa? Bukankah kamu di sini telah...."
"Maksud Mama... Ivan?!" desis Syanda getir.
"Yah, siapa pun...."
"Sudahlah, Ma...." Syanda menutup kopernya sambil berusaha menghentikan ocehan Mamanya.
"Jangan pergi, Syan...." bujuk Mama dengan tatapan kecewa.
Syanda menggeleng. Dialihkannya matanya keluar jendela. Pikirannya menerawang. Sesuatu yang sejak dulu tak mampu dijawabnya. Itulah yang memaksa dan membulatkan tekadnya untuk pergi sesaat. Menguji diri dan mencari jawaban yang pasti. Mencari cintanya yang sejati!
"Syan...!" Wanita separo baya itu menghela napas panjang. "Ivan baik...."
Syanda menatap Mamanya. Wanita yang dikasihinya itu memang tidak menyukai Aditya. Dan rasanya semua orang pun akan bersikap sama. Ivan dibandingkan Aditya memang ibarat bumi dan langit. Syanda heran, mengapa dia merasakan kebahagiaan yang sama. Padahal, dua pemuda itu amat berbeda. Amat berbeda!
"Saat ini Syanda memang dekat dengan Ivan, Ma. Sementara Aditya berada jauh dari Syanda. Kalau Mama menyukai Ivan, Mama tidak salah. Tapi tolong, biarkan Syanda mengambil keputusan sendiri, Ma. Syanda akan mencari jawabannya," pinta Syanda. Matanya terasa hangat.
"Ivan tahu rencana keberangkatanmu?" tanya Mama akhirnya dengan nada suara pasrah.
"Tidak seorang pun tahu. Tidak Ivan, tidak Aditya. Tidak siapa pun tahu ke mana Syanda akan pergi, dan berapa lama!"
"Tidak juga Mama?! Syan, kamu akan memberitahu tempat tinggalmu kepada Mama, kan ?" tanya Mama penuh harap.
Syanda mengusap wajah. Bukan tidak mungkin Mama-lah yang akan menjadi orang pertama yang paling bersemangat mengacaukan acara pengasingannya. (Meski jauh-jauh hari Papa sudah mengusulkan agar Syanda kuliah di Yogyakarta atau Solo dan belajar hidup mandiri di sana , tapi baru kali inilah terpikir olehnya). Dia juga yakin kalau Mama tidak akan berhenti menghalangi niatnya sebelum mendapat jawaban yang pasti tentang perpisahannya dengan Aditya. Karena itu digelengkannya kepalanya.
"Ya, tidak juga Mama. Papa. Santi. Maafkan Syanda, Ma. Untuk kali ini saja biarkanlah Syanda melakukan sesuatu atas dasar keinginan Syanda sendiri. Bila tiba saatnya, Syanda pasti akan mengabari Mama, Papa, dan Santi."
Dipeluknya Mamanya. Direbahkannya kepalanya di bahu bidang Mama. Dijatuhkannya airmatanya di sana . Perpisahan memang terasa berat. Namun keputusan telah bulat. Mungkin dalam kesendiriannya nanti akan ditemukannya jawaban yang dicarinya selama ini. Sebuah jawaban untuk menjawabi kebimbangan dan dilematisasi yang selama ini melingkupi hidupnya.

***

Lagu lawas 'Miss You Like Crazy' dari The Moffatts yang menemaninya selama perjalanan dalam kereta api masih mengalun di telinganya lewat dua kabel iPod Apple. Ah, sebetulnya haruskah kuteruskan rencana kepergianku ini? Apakah yang kucari di sana? Hanya sebentuk keputusan, dan untuk itu harus juga kutinggalkan Ivan dengan segebung cinta yang tulus diberikannya untukku? Apakah kepergianku ini tidak hanya sekedar pelarian diri belaka? Syanda membatin galau. Dipijitnya keningnya yang terasa pening. Dimatikannya iPod Apple dan dicopotnya kabel earphone yang menyambung di telinganya. Terdengar gerus deru kereta api. Dibukanya jendela. Angin dingin menerpa wajahnya yang masai.
"Maaf, apakah tidak lebih baik jendelanya ditutup saja?" Sebuah suara tiba-tiba menegurnya dari arah belakang. Dari deretan kursi di belakangnya.
Syanda tercekat. Suara itu memaksanya untuk menoleh ke belakang. Untuk memastikan bahwa....
"Astaga...!"
"Yap. Aku ikut. Kamu marah?"
"Ka-kamu...."
"Kursi sebelahmu kosong?"
Syanda mengangguk, masih setengah tercengang.
Ivan bergerak, berpindah tempat duduk. Tubuhnya sedikit limbung karena getaran di kereta api.
"Lebih sulit berjalan di kereta api ketimbang di pesawat udara," keluh Ivan dengan mimik jenaka.
"Ivan, sebelum aku marah, katakan dari mana kamu tahu tentang kepergianku ini?" tanya Syanda dengan hati tidak menentu. Apakah dia harus jengkel karena Ivan mengacaukan rencananya, ataukah dia harus gembira karena ternyata....
"Baiklah, sebelum kamu marah, sebelum aku bercerita, aku minta jaminan bahwa kamu tidak bakal memusuhi 'si Mata-mata' itu?"
"Oke. Aku janji."
"Sonya...."
"A-anak itu...?!"
"Hei, kamu sudah janji...."
"Oke, oke. Aku tidak marah, kok."
"Suer?"
Syanda mengangguk dan tertawa geli menyaksikan mimik bersalah Ivan. Amarahnya yang sempat mengubun tadi perlahan mereda.
Ivan menghela napas. Ditatapnya seraut wajah mungil dengan rambut tergerai di hadapannya. Wajah yang belakangan ini membuat hari-harinya menjadi bergairah setelah berpisah dengan Mita. Wajah yang membuatnya lebih mengenal arti hidup ini. Wajah yang selalu ingin disimpannya dalam hati. Selalu....
"Mengapa kamu tidak memberitahuku keberangkatanmu ini?" tuntut Ivan serius. Dahinya mengerut.
Syanda tergagap. "Ak-aku... aku bahkan tidak memberitahu Mama."
"Aku mengerti. Tapi untuk apa semua ini, Syan?!"
"Untuk masa depanku. Mungkin kamu tidak mengerti, Van. Tapi bagiku, ke mana kaki akan melangkah harus diputuskan dengan sungguh-sungguh. Karena aku takut kecewa. Takut salah langkah."
"Maksudmu?"
Syanda tertunduk. Haruskah dijelaskannya bahwa hatinya masih terpaut utuh pada Aditya?! Haruskah Ivan tahu bahwa bayang Aditya pun masih sering menghiasi mimpinya?!
"Kenapa kamu pergi, Syan?!"
"Aku pergi untuk mencari jawaban demi diriku sendiri, Van. Karena itu, biarlah kucari jawaban itu sendiri tanpa dipengaruhi siapa pun. Tidak terkecuali kamu yang baik kepadaku!" Airmata Syanda menggenang. Di luar, deru kereta semakin menderas.
"Seandainya saja aku dapat menolongmu mencari jawaban itu," desah Ivan seraya menghela napasnya.
"Kamu bisa menolongku!"
"Caranya?"
"Turun di peron terdekat. Tinggalkan aku!" ujar Syanda, tidak berani menatap mata elang Ivan. Dia tahu, hatinya tidak akan kuat bila memandang tatapan tulus dan penuh harap dari Ivan. Tatapan yang begitu menjanjikan namun harus segera dienyahkannya.
"Ja-jadi... kamu sungguh-sungguh... ah, Syan! Ak-aku mencintaimu! Aku tidak ingin ada cowok lain dalam hatimu. Sumpah, aku cinta kamu!" Ivan menggenggam erat lengan Syanda dan berbisik dengan suara parau ke telinga Syanda.
Hening sesaat. Kereta terus melaju sampai pluit terdengar tanda kereta memasuki peron perhentian sesaat. Tangan mereka masih saling menggenggam erat. Erat sekali.
Syanda menatap Ivan dengan hati tidak menentu. Betapa ingin kepala ini mengangguk, betapa ingin kusambut mata yang menjanjikan itu, betapa ingin kutumpahkan tangis di dada bidang itu. Betapa....
Ah, betapa sulit untuk memutuskan itu semua, karena jauh di sana, ada sepotong hati di mana terlanjur kutorehkan janji. Sepotong hati di mana telah terajut banyak kenangan. Kepala Syanda menggeleng kecil, perlahan dan ragu.
"Syan... ka-kamu...!" Ivan mendesah serak.
"Van, aku harus mencari jawaban itu dari diriku sendiri. Jawaban itu tidak datang dari kamu. Tidak dari siapa pun. Kamu mau mengerti, kan ?"
Ivan menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan airmata yang menggantung di sudut matanya. Belum pernah Ivan secengeng ini, batin Syanda getir. Aku telah melukai hatinya, tapi itu lebih baik ketimbang nanti kulukai dia dengan pilihanku yang keliru.
"Aku harus jujur kepada diriku sendiri, Van. Saat ini aku ragu. Cobalah untuk mengerti. Aku tidak ingin mengecewakan siapa pun. Tidak kamu, tidak Aditya!"
"Ja-jadi... kamu masih menyimpan Aditya dalam hatimu?!"
Syanda tertegun. Jadi dia masih menyimpan Aditya dalam hatinya?! Perlahan kepalanya mengangguk.
"Ya!"
"Ja-jadi...."
"Aku mencintainya!"
"Sadarilah, Syan. Selama ini, apa yang diberikan Aditya untukmu? Tidak ada selain penantian, penderitaan, kesepian dan kemarahan Mamamu belaka. Tapi ternyata, kamu masih tetap menyimpan namanya dalam hatimu. Bahkan dengan kehadiranku, dengan segala kebahagiaan yang berusaha kuberikan untukmu agar melupakan Aditya, kamu masih tetap bertahan. Kamu ragu, itu wajar. Tapi bagiku, segalanya telah terjawab!" Ivan mengangkat dirinya dari bangku kereta.
"Ivan...!"
"Aku harus bergegas, kalau tidak kereta ini akan terlanjur berangkat lagi dan membawaku ikut ke tempat pengasinganmu di Solo. Aku akan turun di sini!" Ivan mengulurkan tangannya seperti hendak memberi selamat.
"Ma-maafkan aku, Van...."
"Selamat, Syan. Belum pernah kutemukan gadis setegar dan sesetia dirimu. Seandainya aku adalah Aditya, betapa bahagianya aku."
Syanda ternganga. Pluit panjang berbunyi lagi tanda kereta api akan segera meninggalkan peron persinggahan. Ivan bergegas menjinjing travelling bag-nya. Rupanya keputusannya telah bulat. Sesaat Syanda tercenung bimbang.
Betapa inginnya dia menarik tangan Ivan dan mengajaknya ikut ke tempat pengasingannya. Betapa rindunya dia mendengar tawa dan canda yang selama ini mengakrabinya! Dan, semuanya itu dari Ivan. Ketulusan yang ditampiknya atas nama cinta pertama.
Perlahan dirasakannya airmata mengalir di pipinya. Sebilah jari hangat menyusutnya. Membelainya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.
"Selamat tinggal, Syan. Keraguanmu adalah jawaban bagiku!"
"I-Ivan... ak-aku sayang kamu," desah Syanda terisak.
"Tidak, Syan. Airmatamu adalah airmata untuk Aditya. Aku merasakan itu sejak lama. Sesaat masih kucoba untuk mengajakmu melangkah bersamaku, hanya bersamaku. Belakangan ini aku tahu kamu tidak mungkin melupakan Aditya!"
Pluit panjang berbunyi lagi.
"Aku harus pergi!" Ivan mengecup kening Syanda sekilas.
Mata Syanda memejam. Dia tidak berani membuka matanya dan menatap hilangnya Ivan dari gerbong. Dia takut kakinya akan bergerak mengejar Ivan. Deru kereta api terdengar lagi. Makin lama makin cepat. Berlomba dengan deras airmata yang mengalir membasahi pipi Syanda. Makin lama makin deras.
Sebenarnya apa yang kucari selama ini? Sekeping cinta atau hanya seonggok kebahagiaan semu belaka? Lewat jendela kereta api, Syanda menatap jauh ke langit luas. Berdoa agar di sana ada jawaban untuknya.
Namun semua tetap membisu.

Next to Page 9

Bab IX
Suatu Tempat dalam Kurungan Hening

Satu Tahun Kemudian

Aditya tertegun membaca puisi yang didapatinya dalam sebuah majalah. Dan nama penulis puisi itu makin membuat dadanya bergetar.

Suatu tempat dalam kurungan hening
Jalan-jalan dengan lampu temaram
Keriuhan menjelma dalam senyap
Mengajarkan hati 'tuk bersikap sederhana

Kota telah lelap tertidur
Kudengar suara mendengkur
Kututup buku harianku
Bisikkan merdu di telingaku

Bahwa tak 'kan kutemukan lagi
Orang yang pernah kau tinggalkan
Oh, Cintaku yang sejati
Tangisku pecah bersama bumi

Syanda!
Kurang lebih setahun. Ah, nama itu masih begitu lekat di hatinya. Bahkan, menjelang saat-saat terakhirnya di panti rehabilitasi ini. Beratus-ratus hari lewat sudah. Aditya membalik kalender yang penuh coretan merah. Begitu banyak coretan merah yang menandakan ketidakhadiran Syanda.
Dan hari ini, nama itu sekonyong-konyong kembali berdenyar. Sejak kapan Syanda menulis puisi? Aditya tahu bahwa Syanda telah pergi jauh. Entah ke mana. Semua diketahuinya dari Sonya. Namun hingga detik ini tidak ada sebaris pun sms terkirim di HP-nya. Tidak sepotong berita pun terbang ke telinganya sekadar memberitahu tujuan Syanda mengucilkan diri. Apakah untuk menghindariku? Apakah dia malu? Aditya membatin dengan gundah.
Beratus hari di panti rehabilitasi ini membuatnya merasa selangkah lebih dewasa. Dari Romo Dirgo dia banyak belajar tentang Tuhan. Tentang kebatilan dan kebajikan. Dan semua itu membuatnya arif, mampu menahan segala rasa yang menghunjam tatkala Syanda perlahan-lahan mulai berpaling darinya.
Hampir setahun.
Aditya menghela napas. Agaknya Syanda tidak menganggap dirinya sebagai bagian hidupnya lagi. Agaknya Syanda tidak ingat lagi kepadanya. Agaknya semua memang harus terkubur.
"Selamat sore, Aditya," sapa Romo Dirgo.
"Eh, Romo...."
"Tertarik pada puisi?"
"Eh, ti-tidak. Kebetulan penulisnya adalah...."
"Gadismu?" terka Romo Dirgo.
"Romo tahu? Ah, dia bukan lagi milik saya...." kilah Aditya dengan mata masih menyimpan harap.
Romo Dirgo mengangguk bijak. "Berapa kali Romo bilang, Aditya. Kita ini hanya anak wayang. Apapun yang terjadi merupakan kehendak Ki Dalang. Dan kamu tahu, siapa Dalang kita?"
Aditya mengangguk. Kepalanya menengadah ke atas. Dilihatnya matahari mulai terbenam di sisi barat. Tenggelam membawa impiannya selama ini. Dibacanya bait demi bait puisi Syanda sekali lagi, tapi tidak ditemukannya apa-apa. Dia memang tidak mengerti apa pun tentang puisi. Bahkan puisi yang ditulis Syanda sekalipun.
Baginya, sikap Syanda selama ini merupakan ultimatum putusnya hubungan mereka. Mengapa kamu tidak berterus terang kepadaku, Syanda? Sejak dulu masih kusimpan segalanya. Tapi hari ini, malam terakhir di panti rehabilitasi ini, malam kebebasanku, kamu tetap tidak datang. Tidak juga kabarmu. Kita telah begitu jauh, dan aku si tolol ini masih menyimpan segala kenangan yang kita rajut bersama dulu.
"Saya telah mengerti, Romo."
"Bagus."
"Saya telah mantap. Terima kasih untuk segalanya, Romo."
"Bukan saya, tapi Dia yang di atas sana." Romo Dirgo menunjuk ke langit.
Dan sekali lagi Aditya melihat matahari bergerak kemerahan, dan sosok Syanda sekilas melintas. Seperti melambai. Lantas ikut tenggelam bersama matahari. Ke ujung barat. Ujung tanpa batas. Ujung yang entah di mana. Ujung yang tidak pernah dapat terkejar.

***

"Suaramukah itu, Syan?!" seru Sonya seperti menemukan kembali sahabatnya yang hilang.
"Ya, ya...." Syanda tertawa tertahan.
"Ya Allah, kupikir kamu telah...."
"Kamu pikir aku bunuh diri, ya? Karena kebingungan, begitu?"
"Bukan itu saja. Aku pikir kamu lebih daripada itu...."
"Apa itu?"
"Aku pikir, kamu adalah hantu yang mengabariku via HP-ku. Hahaha...."
"Ah, ada-ada saja kamu ini, Son."
"Hahaha. Tapi, aku cukup surprais juga waktu membaca namamu pada sebuah majalah."
"Puisiku?"
"Ya. Bahkan majalah itu sempat kuberikan kepada... maaf, kamu jangan marah ya?" Suara Sonya Melemah.
Syanda merapatkan ponsel ke telinganya. "Aditya...?" terkanya yakin dengan suara pelan sebelum Sonya menuntaskan kalimatnya.
"Ya."
Syanda menghela napas. Satu tahun memang bukan waktu yang sebentar. Tiga ratus enam puluh hari lebih telah ditinggalkannya semua yang pernah jadi bagian dari hidupnya hanya sekadar untuk membuktikan, siapakah sebenarnya yang paling memaksanya untuk segera pulang serta siapa yang paling dirindukannya!
Dan sekarang semua telah terjawab. Untuk siapa dia pergi dan untuk siapa dia pulang kini....
"Kamu masih di sana, Syan?" tegur Sonya.
"Ya, ya. Apa kabarnya Aditya?"
"Baik."
"Aku pun telah mengiriminya sms. Barusan."
"Bagus itu. Kamu tahu, belakangan ini Aditya mulai sering menulis dan juga ditulis...."
"Maksudmu? Menulis puisi seperti aku? Ah, sejak kapan Aditya mengerti soal seni?" seru Syanda tidak percaya.
"Bukan puisi, tapi... ah, aku pun tidak mengerti apa namanya. Tapi yang jelas, Aditya banyak membantu sebuah majalah rohani dalam rubrik tanya jawab. Semacam konsultasilah. Dia juga mengasuh sebuah kolom di majalah tersebut yang menyerukan anti-drugs!"
"Oya?"
"Ya. Dan dia juga banyak ditulis di media massa. Semua mata mulai terbuka bahwa sebetulnya Aditya dulu tidak bersalah. Dia hanya korban drugs semata."
Syanda tertegun. Inikah jawaban Tuhan atas doanya selama ini? Inikah jawaban dari segala penantian dan kesetiaannya? Rasa-rasanya ingin segera dikejarnya kereta api di Stasiun Solobalapan dan berangkat kembali ke Jakarta. Berkumpul kembali di tengah orang-orang yang ditinggalkannya. Mama, Papa, Santi, Sonya, Ivan, dan... Aditya! Semuanya terasa berakhir dengan begitu manis.
"Syanda, kapan kamu kembali?"
"Besok sore."
"Beri kepastian, Syan. Aku akan menjemputmu di Stasiun Gambir."
"Thank's. Oya, sebelum lupa, bagaimana kabar Mama dan Santi?" tanya Syanda.
"Astaga! Jadi kamu bahkan belum pernah sekali pun mengabari mereka? Kamu keterlaluan, Syan! Putri durhaka!" Sonya tergelak. "Terkutuklah kamu!"
"Aku ingin kepulanganku menjadi sebuah kejutan. Untuk semuanya, kecuali kamu karena aku tahu kamu jantungan." Syanda mengolok, lalu ikut tergelak.
"Mulai lagi, nih!"
"Oke, besok sore aku kembali. Jemput, ya? Salamku untuk Aditya... eh, jangan! Jangan bilang siapa-siapa, ya?"
"Ehem...." Di seberang sana Sonya sengaja berdeham.
"Janji, ya?"
"Iya, iya. Eh, hati-hati ya, Non. Besok kujemput kamu."
"Thank's ya, Son. Bye."
Bip.
Syanda menutup HP-nya. Ditinggalkannya travel kecil samping pondokannya di daerah Makam Haji dengan dada lapang sembari mengipas-ngipaskan badannya dengan tiket kereta apinya. Sesaat ditatapnya langit biru, lalu gugusan rumah sederhana dengan atap genteng khas penduduk Kota Solo. Kurang lebih setahun diakrabinya semuanya dalam masa permenungannya. Menyepi, menggali makna hidup ini. Dan keramahan kota kecil di belahan tengah Pulau Jawa itu telah membantu menjernihkan pikirannya. Menenteramkan hatinya yang dilanda kegalauan. Membantunya menentukan siapa yang pantas mendampingi hidupnya kelak.
Cerita Sonya telah membuncahkan kebahagiaan di hatinya. Inilah akhir cerita lara yang dirangkainya bersama Aditya. Dia akan minta maaf kepada Aditya atas keraguannya selama ini. Dan semua orang akan minta maaf kepada Aditya. Atas tuduhan mereka yang tidak benar sama sekali tentang Aditya yang terlibat dalam penggunaan narkoba.
Senyum Syanda mengembang. Semuanya bakal menjadi pelangi.

Next to Page 10

Bab X
Atas Nama Cinta Pertama

"Kamu tidak keberatan walau Mamamu tidak menyukaiku?" tanya Aditya.
"Tidak."
"Juga walau aku tidak dapat mengajakmu dinner ke resto-resto mewah seperti yang lain?"
"Tidak."
"Juga walau aku hanya mempunyai motor trail butut dan bukan sedan seperti...."
"Sstt... sudahlah. Aku menyukaimu karena kamulah satu-satunya...."
"Tapi, sungguh. Aku tidak punya apa-apa...."
"Ah, gombal!"
"Kamu cinta kepadaku, Syan?"
"Ah, kenapa harus gunakan kata-kata usang itu?"
"Kenapa? Eh, kenapa ya?"

Syanda mengerjapkan matanya. Pluit panjang berbunyi mengakhiri lamunannya. Membuyarkan masa-masa indahnya semasih bersama Aditya di setiap malam Minggu. Masa-masa dimana dia masih bimbang mengungkapkan kata-kata cinta untuk Aditya. Namun kini dia tahu, sebenarnya yang membuatnya enggan mengatakan cinta bukan karena ragu tapi lantaran dia sudah terlampau yakin. Kata itu tidak lagi diperlukan. Semua sikap Aditya dan sikapnya telah mencerminkan cinta itu sendiri. Tanpa suara, tanpa kata-kata!
Deru kereta makin menggema saat memasuki stasiun. Syanda bersiap, matanya mencari-cari lewat jendela. Apakah Sonya betul menjemputnya atau malah lupa?
"Syanda!"
Syanda tersentak. Menoleh ke arah kanan, nyaris terpeleset dari tangga kereta. Dilihatnya Santi berlari ke arahnya. Saat itu juga kopernya terlepas dari pegangannya. Disambutnya Santi. Disambutnya udara kota kelahirannya. Disambutnya segalanya.
"Syanda...!"
"Santi... apa kabar?"
"Baik. Kamu sendiri?"
"Seperti yang kamu lihat." Syanda mengerjapkan matanya menahan tangis haru. "Aku baik-baik saja. Dan kurasa apa yang akan kutemui di sini akan membuatku merasa semakin baik."
Santi menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca. Dalam dirinya terbersit keinginan untuk menjadi wanita setegar kakaknya. Yang begitu mengagungkan kesetiaannya terhadap cinta pertamanya, hingga rela melakukan apa saja. Sekedar membuktikan bahwa dia memang hidup atas dasar dan untuk cinta suci.
"Kamu agak kurusan, Syan."
"Ya. Dan kamu pun nampak seperti gadis... hm, maksudku seperti bidadari yang turun lewat titian pelangi, dan baru selesai mandi di sungai. Kamu tambah dewasa dan cantik, Santi."
"Dan aku sendiri bidadari yang membawa kabar gembira ini kepada Santi dan pada Mamamu!" Tiba-tiba saja Sonya sudah berada di tengah mereka.
"Sonya...!" Syanda memeluk sahabatnya.
"Selamat datang kembali, Syanda Manis-ku!" balas Sonya.
"Terima kasih."
"Mari kubantu." Sonya membantu mengangkat beberapa travelling bag Syanda. Beriringan mereka berjalan meninggalkan stasiun yang mulai ramai lagi oleh suara pluit. Kereta datang silih berganti, sama halnya dengan kehidupan manusia, suka dan duka silih berganti. Berputar bagai roda pedati.
"Satu tahun rasanya seperti berabad-abad," kenang Syanda sumringah.
"Apa saja yang kamu lakukan di sana?" tanya Santi.
"Aku? Apa, ya? Merenung, menulis puisi, bekerja sebagai pramuniaga untuk membayar pondokan dan makan. Itu saja."
"Kamu hebat," puji Santi lugas.
"Ah, tidak," Syanda tertegun. "Tapi, kalau kamu katakan aku berjuang, rasanya memang iya. Dan sekarang perjuanganku telah berhasil."
"Jangan membuat puisi di jalanan, Syan," kelakar Sonya.
Mereka tertawa bareng.
"Oya, Mama tidak ikut?"
"Jaga rumah. Katanya, supaya kalau pingsan tidak ngerepotin," gurau Santi.
"Oh, aku sudah kangen banget sama Mamaku, Son. Eh, apakah kamu sudah memberitahu Aditya?"
Sesaat hening. Tiba-tiba saja terasa kebekuan di antara tawa hangat mereka. Ada sesuatu yang janggal. Sesuatu yang sumbang tatkala Sonya mencoba tersenyum dan bergurau.
"Aditya sudah tidak di panti rehabilitasi Nusa Bangsa' lagi, Syan...," ujar Sonya ragu.
"Oya? Di mana dia sekarang?" Syanda nyaris melonjak kegirangan.
"Kamu tidak tahu?"
"Dari mana aku tahu? Kami tidak pernah sms-an lagi...."
"Dan mungkin juga sudah ganti nomor," sela Santi menimbrung.
" Ada apa sebenarnya?" Syanda mengernyitkan dahinya.
"Tidak ada apa-apa." Sonya menggeleng. "Harusnya kamu gembira Aditya sudah tidak lagi berada di panti rehabilitasi itu. Juga karena nama dan reputasi Aditya kini telah bersih. Tidak seorang pun lagi yang dapat menuding dan menuduhnya sebagai berandalan."
Syanda tercenung. Ya, semestinya dia gembira. Tapi dalam suasana haru seperti ini, perasaannya berkata lain. Ada sesuatu yang disembunyikan Sonya. Dan sesuatu itu agaknya tidak menyenangkan. Tentang Aditya. Ya, Aditya-nya....

***

Dengan hati berbunga-bunga Syanda menapaki anak tangga serba putih yang mengantarkannya ke gerbang gereja. Dia tahu, sejak dulu, Aditya yang suka begadang itu adalah juga Aditya yang rajin ke gereja lengkap dengan alkitab dan madah baktinya. Kemarin dia surprais menerima sms dari Aditya. Mengundangnya bertemu di gereja Katolik tua ini.
Setengah enam sore. Misa tengah berlangsung. Syanda mengambil tempat agak di belakang. Ditundukkannya kepalanya dan mulai berdoa. Menunggu penuh harap bahwa akan datang seseorang menegurnya, duduk di sebelahnya seperti janji yang tertulis dalam layar ponselnya malam tadi. Bahwa Aditya mengajaknya bertemu di gereja ini.
Sementara itu frater di atas mimbar terus membacakan firman Tuhan, dan menginterpretasikannya sehingga manusia lebih mudah mengamalkannya di dunia ini. Namun pikiran Syanda tidak terpusat pada kotbah di atas mimbar.
"Aditya...!" desisnya sewaktu dilihatnya bahu bidang berkemeja kotak-kotak, berambut klimis. Agak kurusan memang, tapi dia kenal betul. Dicondongkannya tubuhnya agak ke muka untuk menyentuh bahu berkemeja kotak-kotak itu.
"Dit...!" panggilnya pelan.
Perlahan pemuda itu menoleh. Gadis di sebelahnya pun ikut menoleh. Sesaat Syanda terkesiap. Ditutupnya bibirnya dengan jemarinya.
"Anda memanggil saya?"
"Eh, ma-maaf. Saya pikir Anda Aditya, teman lama saya. Dari belakang tadi Anda tampak mirip dengan teman saya itu." Syanda gelagapan malu. Apalagi gadis di sebelah cowok itu barusan memandangnya dengan tatapan tidak senang.
"Maaf, ya?" ujar Syanda sekali lagi. Kali ini maksudnya pada cewek bermata gundu itu. "Saya mengganggu konsentrasi Anda." Syanda mundur, dan kembali menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
"Tidak apa," balas cowok itu, lalu mengurai senyum tipis.
Bukan Aditya. Lantas, di mana Aditya-nya? Bukankah pesan sms kemarin Aditya menulis akan menemuinya di gereja ini? Syanda menatap sekelilingnya sekali lagi, dan dia yakin Aditya tidak pernah berbohong. Karena itu dia berusaha bersabar beberapa saat lagi sambil mendengar kotbah frater.
"... sebab itu hendaklah kita memperlakukan sesama kita seperti orang yang paling kita kasihi, seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Sebab segala yang kita miliki saat ini; harta, harkat, martabat; datangnya dari Yang Di Atas Sana, dan suatu saat akan kembali juga ke asalnya. Hidup adalah ujian sebelum masuk dalam kerajaan-Nya yang kekal. Amin."
Umat menyambut usainya kotbah frater dengan koor panjang. "Sekarang dan selamanya...."
Bibir Syanda ikut bergerak mengucapkan kalimat itu, namun dalam benaknya hadir sejuta tanya. Tentang suara si Pengkotbah tadi. Ah, seperti begitu diakrabinya pada suatu masa dulu. Syanda menatap tanpa berkedip ke arah mimbar.
"Aditya...!" desisnya.
Tidak dipedulikannya beberapa pasang mata yang menatap heran waktu dia melangkah. Pindah ke deretan kursi terdepan. Sekedar untuk memastikan bahwa pemuda yang dilihatnya memang Aditya!
"A-Aditya... kamukah itu?" tanyanya perlahan sewaktu frater melintas di hadapannya.
Pemuda berjubah panjang serba putih itu menghentikan langkahnya. Menatap Syanda dengan tatapan setenang air telaga. Ah, mata itu bukan lagi mata yang penuh dengan ambisi. Mata itu telah berubah, namun tidak bisa membohongi Syanda bahwa inilah pemuda yang dicarinya. Inilah pemuda yang memaksa hatinya kembali dari tempat pengasingannya.
"Syanda?" Kening frater berkerut.
"A-Aditya... ka-kamu benar, Aditya?!"
"Ikut saya seusai misa," ujar frater

Next to Page 11

Bab XI
Selamat Jalan Merpatiku

Mata sayu itu membasah seperti dua air sungai yang mengalir deras. Syanda menangis tanpa suara sewaktu Aditya menceritakan segalanya di ruang pastori, di belakang mimbar gereja. Dan semuanya lantak bagai keping beling ketika disadarinya Aditya kini telah sedemikian jauh tidak mampu lagi tergapai tangan.
"Waktu itu, Romo Dirgo, pastor di panti rehabilitasi melihat aku tidak seperti penghuni lain. Pada saat itu aku stres berat. Aku bimbang. Aku juga meragukan kesetiaanmu. Apalagi, selama sekian lama aku tidak pernah menerima kabar darimu lagi," papar Aditya. "Dan semua itu membuatku semakin dekat dengan Romo Dirgo dan juga kepada-Nya."
"Aku tahu kamu rajin ke gereja, Dit. Aku tahu.... ta-tapi, apakah semua ini tidak bisa dibatalkan? Apakah kita tidak bisa kembali seperti dulu lagi? Seperti setahun yang lalu?!"
Aditya menggeleng-geleng. "Aku sudah merasa damai dengan pilihanku, Syan. Tanyakanlah kepada dirimu sendiri, Syan! Apakah kamu juga bisa kembali menjadi Syanda yang dulu?! Yang hanya punya satu kekasih dalam hidupnya?"
Syanda mengernyitkan alisnya. "Ka-kamu tahu soal Ivan juga?!" tanyanya tidak percaya.
Adiya menggeleng. "Tidak. Tidak satu pun kabar luar tentangmu yang kudengar. Tapi aku yakin dan percaya, ketidakhadiranmu menjengukku merupakan pertanda bahwa aku bukan lagi satu-satunya yang ada di hatimu."
Syanda tertunduk. "Ta-tapi....."
"Karena itu, Syan, kutempuh jalan ini." Aditya bangkit dari kursinya, melangkah ke jendela. "Karena aku tidak bisa memberi hatiku pada gadis lain seperti kamu membagi hatimu pada pemuda lain. Akhirnya, kuputuskan untuk memberikan segala cinta yang ada pada yang paling berhak. Dia yang ada di atas sana !"
"Ja-jadi, ka-kamu menganggap semua salahku?!" Mata Syanda memerah. Digigitnya bibirnya keras-keras. Kerongkongannya terasa perih.
"Siapa bilang begitu?" kilah Aditya dengan suara sabar.
"Tapi....."
"Semua ini bukan salah siapa-siapa."
"Ta-tapi....."
"Mungkin semua ini sudah menjadi kehendak-Nya."
Syanda memintas dengan rupa nelangsa. Ditatapnya nanar sepasang mata teduh di hadapannya.
"Dit, aku mengasingkan diri selama kurang lebih setahun. Hanya untuk memastikan bahwa di hatiku cuma ada kamu! Tapi, apa yang kuperoleh kini?! Di mana keadilan Tuhan yang kamu agung-agungkan itu?!" tuntutnya, menelan ludahnya dengan susah payah. "Adilkah apa yang kudapatkan?! Penantian, kesetiaan, pembuktian yang kuberikan kepadamu. Oh, Tuhan!" Ditutupnya wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya.
"Syanda....."
"Aku telah kehilangan segalanya! Segalanya!" jerit Syanda dengan suara serak. "Di saat aku merasa mantap untuk memperoleh segalanya. Segalanya!".
Aditya tersenyum bijak. Dipandanginya lekat-lekat wajah kuyu gadisnya dulu itu. Ditatapnya sepasang mata beningnya. Seolah berusaha bicara dari hati ke hati, menenangkannya yang bermuram dalam ketidakrelaannya melepas sosokya yang kini tak terjamah.
"Syan, dengarlah," pintanya lembut. Disentuhya bahu Syanda dari arah belakang. "Kamu tidak kehilangan apa pun. Cinta kita masih ada. Berada di tempat yang paling abadi. Cinta kita telah kukirim kepada Tuhan. Biarlah Dia saja yang menyimpannya. Cintaku kepadamu kutukar dengan cintaku untuk semua umat. Untuk sesama. Karena kini aku tidak hanya milikmu, tapi milik umat gerejaku. Kamu mau mengerti, kan ?"
"Ak-aku....." Syanda tergagap. "Ta-tapi....."
"Tuhan pasti memberkati cinta kita, Syanda."
"Ja-jadi.... cinta kita masih ada?" Mata Syanda mengerjap, menatap penuh harap ke arah Aditya. Dan sekali anggukan kecil Aditya membuatnya yakin.
"Cinta kita abadi, Syan. Yakinlah itu. Sebab, aku yakin cinta kita tidak berlandaskan pamrih."
"Cin-cinta kita masih ada?! Di tempat yang lebih kekal di atas sana?!" tanya Syanda seolah bergumam. Tubuhnya mengejang.
"Ya," angguk Aditya bijak.
"Ak-aku mencintaimu, Dit! Lebih dari yang kamu bayangkan. Bahkan, lebih dari yang pernah terpikir olehku sendiri. Tahukah kamu?!"
"Aku tahu, aku tahu." Aditya menepuk-nepuk bahu gadis yang pernah diakrabi dan dikasihinya itu.
Syanda sesenggukan. Hatinya pedih. Sesaat dia merasa nasib seolah mempermainkannya. Sewaktu dia memiliki segalanya, dia bimbang dan ragu atas apa yang dimilikinya. Tapi setelah dia berhasil meyakinkan diri bahwa dia memang pantas memiliki Aditya dan cintanya, justru kenyataan membawanya pada babak baru dalam kisah kehidupannya. Aditya semakin menjauh, direntang oleh jalan suci yang ditempuhnya. Hidup berselibat dalam pengabdian kepada Tuhan dan sesama. Dan dia harus menerima kenyataan itu.
"Aku mencintaimu, Dit! Sampai kapan pun juga.... selamanya!" desis Syanda dengan mata sembap. Diraihnya tangan Aditya. Digenggamnya erat-erat.
Aditya kembali mengangguk dengan sinar bijak. "Terima kasih untuk ketulusan cintamu, Syan."
"Selamat tinggal, Frater!"
Syanda melepaskan genggaman tangannya. Dengan masih berlinang airmata ditinggalkannya ruang pastori dengan hati pedih.
Memang, ada saatnya cinta itu tidak mesti bersatu. Mungkin inilah cinta yang sesungguhnya. Untuk saat ini rasanya dia belum sanggup menerima dengan hati tabah. Mungkin suatu saat dia dapat memafhumi.
Entah kapan.

***

Dua Tahun Kemudian

Kekecewaan yang pernah dirasakannya perlahan memudar dari hari-harinya. Pengalaman pahit membentuknya menjadi gadis yang tegar dan tabah. Syanda telah menemukan kembali dunianya yang hilang. Dunia yang penuh dengan warna. Meski dia belum dapat sepenuhnya melupakan cinta pertamanya, namun dia tidak lagi terkungkung dalam romantisme masa lalunya yang menyakitkan.

Sekarang dia menyibukkan dirinya dalam kegiatannya yang seabrek. Menjadi penulis freelance di majalah-majalah remaja, copy-writer, dan penyiar radio. Kuliahnya pun sudah hampir rampung. Mungkin setahun lagi dia sudah dapat menyandang predikat psikiater. Suatu kebanggaan yang tidak dapat dilukiskannya dengan kata-kata.
"Selamat siang, Syanda?"
"Eh, selamat siang, Frater."
Frater Aditya tiba-tiba sudah berdiri di bawah bingkai pintu ruang sekretariat pemuda gereja. Suaranya yang khas melantun lembut. Menggugah keterdiaman Syanda yang entah sudah berapa lama mematung dalam lamunannya. Syanda kikuk. Dia berusaha menyembunyikan tingkahnya akibat melamun terlampau jauh ke belahan silam. Mudah-mudahan Frater Aditya tidak menyadarinya, batinnya jengah. Dia kemudian berdiri dari duduknya di belakang meja kerjanya.
"Bagaimana dengan buletin edisi depan kita?"
"Hm, sudah siap naik cetak, Frater. Mungkin minggu depan beredar," jawab Syanda santun, lalu kembali duduk di kursinya.
Sebagai seorang penulis remaja, Syanda dipercayakan mengasuh sebuah terbitan rohani. Dan pekerjaan mulianya itu telah mempertemukannya kembali dengan Aditya, cinta pertamanya. Namun kini, Syanda sadar bahwa inilah sesungguhnya cinta sejati. Cinta yang universal, cinta yang tak dibatasi oleh waktu dan jarak.
Cinta untuk sesama.
"Selamat siang, Frater!" sebait suara melantun dari arah bingkai pintu.
"Siang, siang," jawab Frater Aditya. "Masuk. Mari masuk. Ada yang bisa saya bantu?"
Seorang pemuda tampan membungkukkan badannya menghormat.
"Maaf, mengganggu. Saya ingin bertemu dengan Syandarini Aprilia Joshepine Munaf."
Syanda mengangkat wajahnya dari monitor komputer ke arah suara lembut tersebut. Dan dia terpana seperti patung.
"I-Ivan!" serunya dengan mata terbelalak. "Ivan Prasetyo?!"
Pemuda bernama Ivan itu tersenyum manis. "Hai, apa kabar Syanda?"
"Kalian sudah saling kenal, ya?" ujar Frater Aditya sembari melangkah keluar dari ruang sekretariat. "Kalau begitu, saya pamit keluar dulu, ya?"
Syanda berdiri, berlari dan memeluk tubuh lampai Ivan. Dipereratnya pelukannya dengan pipi membasah. Dia menangis bahagia.
"Aku tidak ingin kehilangan kamu lagi, Syan!" bisik Ivan lembut. "Aku rindu kamu....."
Syanda tidak dapat bicara apa-apa lagi. Tangisnya menderas.
"Maafkan aku, Syan. Aku tidak dapat membohongi perasaanku lagi. Apa pun yang terjadi, aku harus mencarimu. Aku...."
"Aku mencintaimu, Van!"
Di luar ruang sekretariat, Sonya dan Santi tersenyum penuh arti. Mereka semua bahagia dapat mempertemukan Syanda dengan cinta sejatinya!

TAMAT


PASTIKAN DIA JANGAN MENUNGGU

CHAPTER 1:
SI PETASAN INJAK

"Mas Ray!"
Petasan injak itu lagi!
"Lho, kok Mas Ray cuek begitu sih?" Kishi menarik kursi ke dekat Ray. "Aku kan nggak pernah dapat B. Selalu C, itu pun setelah belajar sampai jungkir balik."
"Kalau tidak bisa kimia, kenapa nekat masuk Perminyakan?"
"Kalau tidak masuk Perminyakan, tidak akan ketemu Mas Ray kan?" Kishi tersenyum manis.
Gadis ini! gerutu Ray dalam hati. Selalu saja bisa menangkis semua kata-katanya. Ray menoleh. Menatap ke arah Kishi sekilas. Gadis itu bahkan tidak menyadari kalau kehadirannya benar-benar mengganggu konsentrasi Ray.
"Kemari cuma mau lapor hasil ujianmu?"
"Mas Ray keberatan aku datang kemari, ya?" Kishi menatap profil samping Ray. Cowok itu masih saja menatap lurus ke arah kanvasnya.
"Bisa kan menjawab pertanyaan dulu sebelum bertanya balik?" tegur Ray.
Kishi terkekeh. "Habis, Mas Ray nanyanya seperti mau ngusir."
Aku memang mau mengusirmu! geram Ray dalam hati. Setiap Kishi muncul, lukisannya pasti terbengkalai. Tidak pernah selesai. Ada-ada saja permintaan gadis itu. Minta diajari kimia. Mencari buku. Kaset. Nonton bioskop. Segalanya, bahkan sampai makan!
Dan dengan caranya sendiri, Kishi selalu berhasil membuat Ray menuruti keinginannya.
"Mas Ray sudah makan?"
"Sudah."
"Aku belum. Temani aku makan keluar, yuk."
"Aku sedang melukis," tolak Ray.
"Nanti kan bisa diteruskan lagi. Ayo dong, Mas Ray! Tidak kasihan melihatku kelaparan?"
"Kamu kan bisa makan sendiri."
"Ah, mana enak makan tanpa teman."
"Kenapa tidak makan dulu sebelum kemari?" gerutu Ray tanpa menyembunyikan rasa kesalnya.
"Aku mau traktir Mas Ray. Kan ujianku dapat B karena diajari Mas Ray."
"Aku tidak minta bayaran. Simpan saja uangmu."
"Mas Ray kok menolak niat baik orang?"
"Lukisanku belum selesai."
"Nanti bisa dilanjutkan. Kutemani, deh."
"Tidak usah," tolak Ray cepat. "Nanti malah lebih tidak selesai."

CHAPTER 2:
CINTAKAH DIA?

"Nanti ke rumah Ray?"
"Mungkin. Kenapa?"
Tito mengeluarkan amplop coklat dari dalam ranselnya. "Titip ini buatnya. Dan ingatkan dia, Kish. Wisudanya bulan depan. Dia harus datang mengurus administrasi. Jangan lupa bawa foto."
"Oke."
"Trims." Tito melambai sambil menjauh.
"Kenapa harus kamu yang merawat bayi besar itu?" tanya Warnie setelah Tito berlalu. "Mengingatkannya makan. Bahkan sekarang mengingatkan untuk acara wisudanya. Sementara dia sendiri tidak ingat apa-apa selain melukis."
"Bayi besar yang mana?"
"Tentu saja Ray! Siapa lagi?"
"Oo." Kishi tersenyum manis. Kalau bukan aku, siapa lagi? Lagipula, Mas Ray banyak membantuku."
"Kimia?" Warnie mencibir. "Sebenarnya tanpa dia pun kamu bisa."
"Biar saja. Mas Ray toh tidak keberatan."
"Apa yang kamu cari darinya, Kish?"
"Tidak ada."
"Kamu tidak sedang jatuh cinta padanya, kan?"
"Tidak!"
"Kamu terlalu cepat menjawab."
Jatuh cinta? Kishi bahkan tidak pernah memikirkan itu. Dia cuma merasa senang berada di dekat Ray.
"Apa dia tidak terlalu tua untukmu, Kish?"
"Kamu ini bicara apa, sih?!" Kishi mendelik. Mulai sebal dengan Warnie yang nyinyir.
"Aku cuma kasihan melihatmu. Selama ini selalu kamu yang menghampirinya. Memperhatikannya. Apa dia pernah bertindak sebaliknya?"
Kishi terdiam. Memang tidak pernah, jawabnya dalam hati.
"Aku tidak menuntut apa pun," sanggah Kishi. Tapi dia tahu hatinya tidak yakin.
"Kamu tidak jujur."
"Jangan bicara lagi, Nie!"
"Kalau kamu menghindar terus, semua bisa terlambat. Dia terlalu tua untukmu. Kamu bahkan baru duduk di semester pertama sementara Ray sudah lulus."
"Kami cuma berbeda lima tahun!"
"Lebih baik mencari yang seumur denganmu. Yang mendekatimu banyak, Kish. Buat apa mengejarnya terus kalau dia tidak mencintaimu?"
"Aku tidak bilang aku jatuh cinta padanya."
"Suatu saat pun kamu pasti sampai pada kesimpulan itu."
Benarkah?
"Kish, aku bisa bicara begini karena aku kenal Ray dengan baik. Aku sudah berteman dengannya sejak dulu. Bahkan saat dia masih bersama Ika. Dia sangat mencintai gadis itu."
"Aku tahu."
"Bahkan mungkin sampai sekarang," lanjut Warnie hati-hati. "Kukatakan ini karena aku tidak mau kamu terperangkap. Kamu teman baikku, Kish. Aku tidak mau melihatmu terluka tanpa ada yang bisa kulakukan."
Lalu dia harus apa?!
Kishi bahkan tidak tahu harus bagaimana. Dia bahkan tidak tahu apa benar dia jatuh cinta pada Ray, seperti yang dikatakan Warnie? Namun hati kecilnya membenarkan sebagian besar yang dikatakan Warnie.
Apa dia harus mencoba menjauh dari Ray, sekadar mencari tahu apa Ray peduli padanya? Lalu bagaimana kalau ternyata Ray memang tidak mencarinya, kalau ternyata bagi cowok itu seorang Kishi memang bukan apa-apa?
Kishi tidak berani membayangkan.
Dia bahkan tidak berani memikirkannya.

CHAPTER 3:
SEGALANYA TENTANG RAY

Ray melangkah ke dalam. Melewati ruang makan dan terhenti di dapur.
"Mam!"
"Hai, Ray. Dari mana?"
"Jalan-jalan sebentar."
"Tadi Kishi kemari. Lebih dari sejam menunggumu."
"Ada pesan?"
"Dia tinggalkan memo dan amplop. Mama taruh di atas kulkas."
Ray menjangkau atas kulkas dan menemukan secarik memo kecil tertindih amplop coklat.

Titipan Tito. Katanya bulan depan Mas Ray diwisuda. Bawa foto dan urus administrasinya di sekretariat. Kishi.

Kemajuan!
Ray tersenyum tipis. Biasanya gadis itu tidak pernah cukup menulis memo dengan selembar kertas kecil begini.
"Sudah makan, Ray?"
"Tadi sudah makan di jalan. Ray ke paviliun dulu."
"Oo, hampir lupa." Mama meninggalkan blendernya. Menghampiri Ray, menatap putranya lembut. "Ada tamu untukmu. Dia sudah hampir setengah jam menunggu. Katanya mau menunggu di paviliun saja. Jadi Mama biarkan dia di sana."
"Kishi?"
"Ika."
Ray tertegun.
"Temuilah, Ray. Ada yang harus diselesaikan antara kalian."
"Semua sudah selesai," gumam Ray tak bergeming. "Dia sudah memilih jalan hidupnya. Untuk apa kembali?"
"Dia berhak memberi penjelasan." Mama mendorong Ray lembut. "Temuilah. Kalau kamu masih mencintainya, kenapa harus menolak?"
"Saya sudah tidak mencintainya lagi."
"Karena Kishi?" Mama tersenyum. "Atau karena menuruti kemarahanmu saja?"
"Kishi cuma anak kecil."
"Tapi kamu bahkan tidak bisa menolak kehadirannya."
"Mam!" Pusing di kepala Ray bertambah.
Ray tidak ingin menemui Ika sebenarnya. Biar saja gadis itu menunggu di paviliun sampai bosan. Ray bisa berbaring di kamarnya di atas. Tapi itu tak akan menyelesaikan segalanya. Biar pun Ray menghindar, tetap saja masih ad

CHAPTER 4:
RAY DAN IKA

"Ray!"
"Kapan kembali?"
"Kemarin. Aku meneleponmu tapi kamu keluar. Jadi hari ini aku kemari."
Ika masih saja cantik, seperti dulu. Lebih cantik malah. Tapi membuat Ray merasa sangat asing.
"Masih suka melukis, Ray?"
"Seperti yang kamu lihat."
"Kudengar kamu sudah lulus. Selamat, ya? Kapan wisudanya?"
"Bulan depan."
Genggaman tangannya pun sudah terasa lain. Ika yang kembali sekarang sudah terasa lain. Ika yang kembali sekarang bukan seperti Ika yang dilepasnya pergi dulu.
"Tempat ini tidak pernah dibereskan, ya?" Ika mengalihkan pembicaraan. Mencoba mencairkan kedinginan Ray.
"Kadang-kadang." Kalau Kishi datang dan Ray tidak sedang melukis. Ray akan berselonjor di sofa panjang, mendengarkan kicauan petasan injak itu dan membiarkan gadis itu menata paviliunnya sesuka hati.
"Bagaimana kalau kita keluar, Ray?"
"Maaf, aku capek."
"Kutemani di sini?"
"Tempat ini kotor."
"Tak apa. Aku ingin melihatmu melukis lagi seperti dulu."
Bagaimana bisa, sementara suasana di antara mereka tidak lagi sama seperti dulu?
"Kenapa cita-citamu berubah?" tanya Ray dua tahun yang lalu saat Ika memutuskan berangkat ke Amsterdam.
"Kesempatan ini jarang sekali datang, Ray. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu disodorkan padaku."
"Juga kalau itu berarti kita berpisah?"
"Cuma sementara!"
"Tapi kamu bahkan tidak bisa memastikan kapan akan kembali. Bagiamana kalau kamu tidak kembali?"
"Aku pasti kembali."
"Sampai kapan?"
"Tidak lama!"
"Setahun, dua tahun, sepuluh tahun? Atau kamu ingin aku menunggu seumur hidup?"
"Ray!"
"Kuliahmu sudah setengah jalan, Ika."
"Bisa kulanjutkan kalau aku kembali."
"Asal kamu kembali belum jadi nenek-nenek."
"Kamu tidak suka aku pergi?"
"Ya! Aku tidak suka kamu membuang semua yang sudah kamu miliki hanya untuk mengejar sesuatu yang baru. Yang tidak pasti!"
"Aku tidak membuangnya, Ray. Aku cuma menunda. Aku tak akan tahu kalau tidak pernah mencoba."
"Bagaimana kalau kamu gagal?"
"Aku bisa kembali, dan meneruskan kuliahku yang di sini."
"Asal kamu tidak terlambat. Asal pintu belum tertutup rapat saat kamu kembali."
Ray tidak bisa mengerti. Tidak bisa memahami. Ika sudah punya segalanya. Keluarga. Cita-cita yang bakal diraihnya dalam dua tahun mendatang. Ray yang mencintainya, yang didapatnya setelah menyingkirkan tidak sedikit saingan.
Dan sekarang Ika bermaksud meninggalkan semua demi sebuah kesempatan ke Amsterdam. Hanya karena gadis itu menerima tawaran untuk hidup dan belajar musik di Negeri Kincir Angin itu. Tawaran dari salah seorang pamannya!
Musik?! Astaga! Ray tahu betul, Ika tidak pernah berminat pada dunia yang satu itu.
"Aku tidak bisa menghalangimu. Aku cuma berharap, kamu sudah kembali sebelum semuanya terlambat."
Termasuk dalam hal memperoleh kembali hati Ray.
"Siapa Kishi, Ray?" Ika meraih diktat Kishi yang tergeletak di atas lemari.
"Adik angkatan." Ray mengambil diktat itu dan meletakkannya di atas lemari.
"Dia sering kemari? Kok bukunya ada di sini?"
"Bukan urusanmu."
"Tentu saja urusanku kalau semua belum terlambat." Ika menatap Ray sambil tersenyum. "Belum terlambat kan, Ray?"

CHAPTER 5:
AIRMATAKU MENITIK

"Ada telepon untuk Kishi, Mam?"
"Tidak." Mama mendongak, menatap Kishi sambil berkerut. "Kamu nunggu telepon dari siap sih, Kish? Penting ya sampai nanyain tiap hari?"
Kishi tersenyum pahit. Menggeleng perlahan. Jadi Warnie benar. Dia memang tidak berarti apa pun untuk Ray.
Sudah lebih dari sebulan Kishi tidak lagi menemui Ray. Terakhir adalah saat Kishi mengantarkan amplop titipan Tito. Itu pun Ray tidak ada di rumah. Dia hanya ditemani Mama Ray. Setelah itu Kishi menjauh. Mencoba menahan diri. Dia harus tahu, apa memang ada yang bisa diharapkan.
Tapi ternyata tidak! Sama sekali tidak!
Ray tidak mencarinya. Tidak menelepon. Tidak datang ke rumah.
Mungkin dia memang harus melupakan. Tidak usah mengharapkannya. Tapi bisakah? Sebulan ini saja Kishi sudah merasa kehilangan.
"Oya, Kish. Tadi Warnie datang. Katanya, mau pinjam diktat organik buat kuis besok. Mama suruh cari sendiri di kamarmu. Tapi katanya tidak ada."
Tertinggal di tempat Ray saat Kishi memaksa cowok itu mengajarkannya sebelum ujian kemarin. Dan dia lupa mengambilnya kembali untuk dipinjam Warnie besok.
"Kishi pergi dulu, Mam."
"Lho, baru pulang kok mau pergi lagi?"
"Ambil diktat di rumah teman. Kasihan Warnie, besok dia perlu sekali."
Sekalian mengambil semua barangnya yang tertinggal di paviliun Ray.

***

"Mas Ray ada, Mbok?" Rumah besar itu sepi saat Kishi tiba di sana. Cuma Mbok Tinah yang menyambutnya.
"Ada di paviliun, Non. Biasa, sedang melukis. Masuk saja ke dalam."
Kishi melangkah masuk. Menyusuri taman belakang yang luas sebelum sampai ke paviliun.
"Mas Ray!"
Kishi tertegun di ambang pintu. Batal melangkahkan kaki untuk masuk. Merasakan seluruh dunia berputar balik. Dan dia terjebak dalam pusaran tanpa henti.
Ray menoleh. Mendapatkan Kishi tertegun di ambang pintu. Dia bisa membaca seluruhnya. Keterkejutan. Kesakitan. Semua di mata itu. Perlahan dilepaskannya pelukannya pada Ika.
"Kishi."
"Maaf, aku tidak tahu kalau Mas Ray ada tamu." Kishi mencoba tersenyum.
"Tak apa." Ray menghampiri. Tenang seperti biasa. "Oya, kenalkan. Ini Ika. Ka, ini Kishi."
Kishi melebarkan senyumnya. "Maaf mengganggu. Aku cuma mau mengambil barang-barangku yang tertinggal."
"Berserakan di mana-mana."
"Tidak penting, kok. Cuma diktat itu yang mendesak. Bisa tolong ambilkan, Mas Ray?"
Ray meraih diktat organik Kishi di atas lemari.
"Terima kasih. Aku pulang."
Kishi berbalik cepat. Melangkah cepat melintasi taman belakang rumah Ray.
"Kish!" kejar Ray. "Katanya mau mengambil barang-barang yang lain?"
"Tidak begitu penting. Bisa tolong dikumpulkan dulu, Mas Ray? Nanti kuminta Warnie mampir mengambilkannya. Dia suka lewat sini kalau pulang."
"Kenapa tidak diambil sendiri?"
"Aku sibuk. Sudah hampir ujian semester. Harus belajar keras."
"Tidak ingin kuajari seperti biasa?"
"Nanti mengganggu Mas Ray. Lagipula, aku harus mandiri kan?" Kishi tersenyum lagi. Menyamarkan semua rasa yang sempat terlihat Ray tadi. "Aku pulang, Mas."
"Kuantar, Kish."
Hampir setahun berada di dekat Ray, menghampirinya selalu, Ray tidak pernah menawarinya mengantar pulang. Pun setelah seharian Kishi menemaninya di paviliun. Atau membereskan paviliun yang seperti kapal pecah. Ray bahkan tidak pernah mengantar sampai ke depan rumah, tempat Kishi memarkirkan mobilnya.
Lalu kenapa baru sekarang, setelah segalanya terlambat?
"Aku bawa mobil."
"Kuantar sampai depan."
"Tidak usah. Mas Ray kan ada tamu. Tuh sudah ditunggu."
"Hati-hati, Kish."
Kishi mengangguk. Ray bahkan tidak pernah berpesan seperti itu.

CHAPTER 6:
HATIKU PATAH

"Mau tolong aku, Nie?"
"Apa?"
"Kalau pulang lewat rumah Mas Ray, kan?"
"Kadang-kadang. Memangnya kenapa?"
"Kalau lewat, tolong mampir sebentar. Ada beberapa barangku yang tertinggal di tempatnya."
Warnie menoleh. Menatap Kishi dengan dahi berkerut.
"Ada apa denganmu?"
"Tidak ada." Kishi tersenyum.
"Kenapa harus aku yang datang? Bukan kamu?"
"Aku sibuk. Mesti belajar untuk ujian semester."
"Biasanya minta Ray yang mengajarkan."
"Merepotkan dia saja."
"Hei, ada apa denganmu?" ulang Warnie heran.
Kishi menarik napas panjang, menunduk sedikit.
"Kamu benar. Aku memang bukan apa-apa untuk Mas Ray."
"Oo, Kish." Warnie memeluk Kishi. "Dia mengatakan itu padamu?"
"Aku melihatnya sendiri. Ika kembali."
"Dia bilang akan kembali pada Ika?"
"Mas Ray tidak menjelaskan apa-apa. Aku melihatnya memeluk Ika. Apa itu tidak menjelaskan segalanya?"
"Kish!"
Kishi menelan ludahnya dengan susah payah.
"Seharusnya aku mengerti sejak dulu," ungkapnya.
"Kalau saja kamu mau mendengarkan aku."
"Ya. Tapi tidak ada gunanya memang. Sudah selesai. Semua." Kishi tersenyum pahit. "Jangan lupa, ya? Tolong ambilkan barangku."
"Mau titip sesuatu untuk Ray?"
Kishi menggeleng.
"Tak akan ada gunanya."

***

"Nah, itu dia pulang!"
Kishi tertegun di ambang pintu. Mama berdiri dari duduknya. Menyambutnya. Tapi yang membuat Kishi bingung adalah kehadiran Ray di ruang tamu sekarang.
"Ke mana saja, Kish? Sudah ditunggu lama, tuh."
"Jalan-jalan."
"Tante tinggal ke dalam ya, Ray."
Ray mengangguk. "Terima kasih, Tante."
Pandangannya dialihkan ke Kishi setelah Mama gadis itu menghilang. Sementara Kishi masih saja berdiri di tempatnya.
"Kenapa melihatku seperti melihat UFO?"
Kishi tertawa kecil. "Tumben Mas Ray kemari? Ada apa?"
"Mengantarkan barang-barangmu."

***

CHAPTER 7:
PASTIKAN DIA JANGAN MENUNGGU

"Seharusnya Mas Ray tidak perlu repot-repot begini. Sampai mengantarkan segala. Aku sudah minta tolong Warnie."
"Warnie datang kemarin. Tapi aku katakan, ingin aku antar sendiri."
"Ada yang penting?" Kishi duduk di hadapan Ray. Menatapnya.
"Kalau tidak penting, tidak boleh menemuimu?"
"Bukan begitu. Biasanya Mas Ray kan...."
"Tidak pernah mencarimu, apa lagi sampai ke rumah?" potong Ray tersenyum. "Selama ini aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri, ya?"
"Tak apa. Melukis toh bukan hal yang jelek."
"Bukan itu. Maksudku...."
Kishi menunduk. "Aku mengerti."
"Seharusnya aku bisa lebih memahamimu."
"Tidak perlu. Pahami saja keinginan Mas Ray." Kishi menelan ludah pahit. "Sudah terima amplop coklat yang kutitipkan?"
"Ya."
"Tito bilang, itu panggilan kerja untuk Mas Ray."
Ray mengangguk. "Pertambangan minyak di Batam."
"Mas Ray terima?"
"Menurutmu bagaimana?"
"Aku tidak punya pendapat untuk itu." Kishi menggeleng. "Kenapa tidak bertanya pada Mbak Ika?"
"Ika?" Ray memajukan tubuhnya. "Karena kamu melihatku memeluknya?"
"Sebenarnya bukan cuma itu."
"Apa lagi?"
"Aku tidak ingin membicarakannya."
"Kamu belum tahu secara pasti bagaimana aku dengan Ika. Kenapa langsung memutuskan?"
"Itu masalah pribadi Mas Ray. Kenapa aku harus tahu?" elak Kishi. "Kenapa harus dibicarakan padaku?"
"Karena kamu tersangkut di dalamnya."
"Aku?" Kishi tertawa. Pahit. "Aku bukan apa-apa."
"Kalau kamu bukan apa-apa, dia tak akan cemburu. Ika bukan tipe orang yang bisa menyerah begitu saja sebelum bertanding."
"Tidak perlu ada pertandingan. Toh memang sudah ada pemenangnya."
"Kamu!" Ray mengultimatum. "Kamulah pemenangnya!"
"Pembicaraan apa ini? Mas Ray ngawur!" Kishi bangkit. Bagaimana dia bisa tahan duduk berhadapan begitu dan membiarkan Ray mempermainkan perasaannya, mengobrak-abriknya?
"Duduk, Kish. Aku belum selesai."
"Apa lagi?!"
"Aku diwisuda besok."
"Lalu?"
"Mau mendampingiku?"
"Kenapa tidak minta pada Mbak Ika?"
"Ika lagi, Ika lagi!" Ray menggeleng kesal. "Aku minta padamu! Bukan Ika!"
"Apa yang Mas Ray inginkan sebenarnya?"
"Waktu Ika meminta kembali, aku tidak tahu kenapa tidak ada lagi yang bisa kuberikan padanya. Di hatiku sudah tidak ada namanya lagi. Di hatiku hanya ada kamu...."
Kishi menggeleng.
"Aku bukan apa-apa bagi Mas Ray. Aku bukan apa-apa...."
"Karena aku tidak pernah membalas semua yang kamu berikan?"
"Memang tidak harus, kan?"
"Kishi, waktu kamu ke paviliun saat itu...."
"Aku tidak ingin mendengar penjelasan Mas Ray tentang alasan memeluk Mbak Ika seperti itu. Itu urusan Mas Ray."
"Urusanmu juga." Ray menatap tajam. "Aku perlu menanyakan ini, Kish. Sebelum kuputuskan ke Batam atau tidak."
"Mas Ray akan ke Batam?" Kishi menatap Ray tanpa menyadari matanya menyimpan kepanikan.
"Tergantung jawabanmu."
"Aku?"
"Ya, bukan Ika! Please, jangan bicarakan dia lagi. Kita sedang mendiskualifikasikan dia." Ray menarik napas sejenak. "Kamu ingin aku pergi ke Batam dan terikat kontrak yang memisahkan kita begitu lama?"
Kishi tak tahu harus menjawab apa. Kalau menuruti kata hatinya, maka dia ingin menjawab tidak.
"Mas Ray ingin pergi?"
"Bagiku, kerja di manapun sama saja kalau tidak ada kamu. Tapi kalau ada kamu, kupilih kerja di sini. Sudah ada perusahaan lagi yang menawariku. Kalau kamu ingin kita tidak berpisah, minta aku jangan pergi!"
Kishi mendongak. Menatap hitamnya mata Ray yang bagus.
"Aku tidak ingin Mas Ray pergi," ucapnya pelan. "Aku...."
Ray menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
"Aku tak akan pergi," jawabnya pasti. "Aku tak akan pergi!" ©



NEVER BEEN KISSED

Namaku Sondang, cewek yang tinggal di sebuah pedesaan yang adem. Namaku Sondang, cewek yang punya pacar bernama Tigor. Aku tidak pernah meragukan perasaan Tigor terhadapku. Tapi itu dulu, sebelum Monang muncul ke Samosir. Kata Monang, cinta baru sah jika kita telah dicium pacar kita. Di-ci-um?! Kututup mulutku yang menganga. Di-ci-um?! Astaga! Sedang kata cinta saja tidak pernah diucapkan Tigor, apalagi dicium!
Pertemuanku dengan Monang telah membuatku guncang!
Cowok gunung yang dulu kekurangan vitamin itu, sekarang telah berubah menjadi cowok yang macho dan keren. Tiga hari yang lalu, ia datang bersama orangtuanya ke kampung ini. Hanya sekali pandang saja, aku sudah tahu bahwa semua yang melekat di tubuh Monang adalah barang terbagus selama ini yang pernah aku lihat. Mereka datang pakai sedan bagus, yang tidak kutahu apa mereknya. Lantas, orang-orang kampung yang amat lugu, termasuk aku dan Tigor, menyambut mereka bak raja. Lalu, dengan senyumnya yang kuakui amat memikat, Monang melemparkan puluhan coklat kepada para penyambutnya.
"Eh, kamu Tigor kan?!" serunya waktu berpapasan dengan pacarku. "Yang pernah terkencing-kencing di kelas?"
"Tapi kamu lebih sering, kan?"
Keduanya terbahak-bahak. Lalu pandangan mata Monang jatuh kepadaku.
"Hai, kamu Sondang, kan?"
Aku mengangguk, agak kikuk.
"Astaga, kamu cantik bener sekarang. Luar biasa," ia berdecak.
"Sondang pacarku, Nang."
"Ah, masak sih? Beruntung bener kamu dapat cewek secantik Sondang."
Aku jadi merenung sepulang dari rumah Ompung Monang. Cantik. Beruntung bener? Kata-kata yang tidak pernah diucapkan Tigor, meskipun kami pacaran sudah hampir tiga tahun.
Lalu, seminggu setelah berada di desa ini, momen manis itu pun terjadi, dan sungguh mati aku tidak sanggup melupakannya.
Waktu itu, Danau Toba sedang sepi. Aku sendirian. Susah payah aku berusaha menaikkan hudon berisi air di kepalaku. Nyatanya, aku tidak berhasil. Keseimbanganku oleng. Dan sebelum hudon jatuh hancur berkeping-keping, tangan kekar itu telah menyangga tubuhku.
Napasku mendadak sesak, karena jarak kami begitu dekat.
"Eh, kamu...," aku tergagap. "Kok kamu tiba-tiba bisa berada di sini?"
"Dari tadi aku malah memperhatikan kamu."
"Dari tadi?"
"He-eh. Pas tadi aku lihat kamu bawa hudon, diam-diam aku mengikutimu dari belakang."
"Mengikuti aku? Untuk apa?"
"Untuk apa kata kamu?" ia tertawa. "Aku pengen ngobrol-ngobrol dengan kamu, apa nggak boleh?"
Monang mengerling nakal. Aku membuang pandang ke arah lain.
"Boleh kan, Ndang?"
Aku mengangguk.
Pelan-pelan, Danau Toba kami tinggalkan.
"Jadi bener kamu pacar Tigor?"
"Ah...."
"Beruntung bener dia dapat cewek secantik kamu. Aku jadi ngiri, Ndang. Sungguh!"
"Ah, cewek-cewek di kota kan cantik-cantik."
"Memang. Tapi jerawatan. Nggak kayak pipi kamu yang mulus banget."
"Siapa bilang pipiku mulus. Ini, ada jerawat yang muncul."
"Mana?"
"Ini!"
"Coba aku lihat, Ah, ini mah jerawat pemanis. Bukan jerawat batu seperti jerawatnya cewek-cewek kota."
Aku bingung. Susah sekali mengelak. Monang telah meraba jerawat di pipiku. Sekarang, tangannya bergerak menjewer hidungku.
Tigor saja, yang sudah tiga tahun jadi pacarku, tidak pernah berbuat seperti itu. Bahkan berpegangan tangan saya kami tidak pernah!
"Kamu benar-benar sempurna."
"Sempurna apaan?"
"Kecantikan kamu."
Aku menggigit bibir.
"Hidung kamu memang pesek, tapi enak sekali dipandang."
Aku, benar-benar salah tingkah.
"Wajah kamu mudah sekali memerah...."
Aku diam.
"Gampang sekali salah tingkah...."
Aku tak tahu, harus bilang apa.
"Apa Tigor belum pernah memberimu ciuman?"
"Ciuman?!" Aku memekik kaget.
"Kenapa respon kamu begitu luar biasa, Ndang?" ia tertawa. "Apa ciuman itu salah? Sekadar cium di pipi, atau di kening, apa itu dilarang? Justru aku kira, ada yang salah dalam hubunganmu dengan Tigor, jika memang dia belum pernah menciummu."
Keringat banjir di keningku. Aku merasa diteror habis-habisan.
"Ciuman sayang dari sang Pacar bisa menumbuhkan rasa percaya diri, Ndang!"
"Oh...."
"Kalo boleh aku menilai, dari sikap dan gaya kamu, aku yakin Tigor belum pernah menciummu. Hehehe...."
Mulutku bergerak-gerak, tak mampu membela diri.
"Tanyakan padanya, Ndang, kenapa ia nggak pernah menciummu!"
"Apa?!"
"Ciuman itu wujud nyata bahwa pacar kita mencintai kita, Ndang!"
Aku gelagapan.
"Dan itu artinya, Tigor tidak sungguh-sungguh mencintai kamu."
Aku gamang.
"Jangan khawatir, Ndang. Jika Tigor memang nggak mencintai kamu, masih ada aku, Monang, yang bisa memberimu cinta dan ciuman. Hehehe...!"
Ingin sekali aku marah. Cara Monang bicara, berani sekali dan cenderung merendahkan. Tapi aku tidak berdaya. Kata-kata Monang benar-benar membuatku jengkel pada Tigor. Betul kata Monang, kenapa Tigor tidak pernah menciumku?

***